, , No Comments
Kemarin siang, gue makan siang di gado-gado Kertanegara, setelah jemput yayang di Jakarta Stock Exchange Building. Kebetulan juga kita dapat parkir yang enak pas di bawah pohon rindang. Jadilah kita pesan dua porsi gado-gado dan teh botol. Sewaktu menunggu pesanan, tiba-tiba kita ditawari oleh cowok berusia sekitar awal 20-an. "Semir, Oom," tawarnya. Karena merasa males nyemir sepatu, dan kebetulan sepatu cowok gue memang belum tersentuh semir lagi, serta merta dia menyanggupi.

Kita masih ngobrol terus, sambil nunggu gado-gado datang. Sementara itu si tukang semir sepatu yang sedang bekerja menyemir sempat masuk juga dalam perbincangan kita siang itu. Eh, gado-gadonya udah datang. Ya sambil makan dan ngobrol dong. Belum abis gado-gado, sepatunya udah kelar. Hmm… rapi juga kok kerjaannya. Herannya, anak itu malah ninggalin kita setelah menyerahkan sepatu yang sudah tersemir tadi. "Lho kok malah cabut sih?’ tanya cowok gue. Sambil lalu gue jawab, "Kan dia lagi cari pelanggan lain?"

Ternyata si penyemir sepatu tadi masih jadi salah satu topik pembicaraan. Menilik bajunya yang agak dekil, kayaknya dia enggak mandi beberapa hari. Kami pun mafhum, siapa tahu dia anak jalanan, siapa tahu dia homeless, dan banyak perkiraan lainnya. Gue masih takjub dengan anak ini. Soalnya tiap kali dia menawarkan jasanya, dan orang-orang menolak, dia cuma nyengir. lalu dia kembali ke depan pintu rumah, yang sepertinya dijadikan markasnya sambil menunggu mobil yang datang. Setelah ditolak, dia akan balik ke tempat semula. Lalu dia seolah merenung, matanya agak kosong dan menerawang jauh. Bener juga gue pikir, cowok gue sempat mengomentari pekerjaannya itu. "Untuk anak sebesar dia, harusnya dia sudah alih profesi. Pekerjaan menyemir sepatu terlalu mudah buat dia. Seharusnya dia mungkin sudah jadi kernet, atau tukang parkir. Minimal jadi pak ogah, lah," katanya.

Akhirnya, kita sudah tandaskan gado-gado yang makin ramai pengunjungnya itu. Mungkin udah pada selesai Jumat-an, kali, ya? Sementara itu, mata gue masih menatap si penyemir sepatu tadi. Terlihat dia berdiri dan memandangi mobil-mobil yang keluar masuk. Gue lambaikan tangan untuk memberikan uang semir sepatu tadi. Eh, dia malah memanggil si joki gado-gado. SI penyemir sepatu tadi malah kembali memandangi jalan. Mau dibayar enggak, sih? Kok santai amat, ya? Joki gado-gado yang memanggil anak tadi. Baru dia beranjak ke arah mobil kita dan langsng menuju tempat cowok gue duduk. Gue sendiri masih sibuk membayar makanan yang sudah kami makan. Gue cuma tahu kalau cowok gue lagi menyiapkan dua lembar uang ribuan, karena sempat bertanya-tanya kira-kira berapa harga menyemir sepatu. Barulah gue meoleh ke samping kiri, ke arah cowok gue, karena mendengar kata-kata, "Kebanyakan, Oom. Seribu aja," kata si penyemir. Gue juga sempat melihat cowok gue insist memberikan dua lembar ribuan, tapi anak itu cuma menggeleng ramah. Kata-kata si penyemir sepatu tadi seakan tidak bisa masuk akal gue! Di belantara Jakarta yang kata orang amat kejam ini, untuk bisa menyelesaikan masalah harus pakai uang, anak ini tidak tergoda untuk mengambil uang yang bukan haknya.

Kata-kata tadi sedemikian ‘keras’nya menghantam dinding perasaan gue. Gue merasa diinggatkan olehNya. Betapa sering kita tidak jujur, dia masih bisa memberi dari kekurangannya.

Ya, paling enggak ini bisa buat refleksi buat gue dan yayang. Betapa kecilnya kita nilai ukhrowinya ketimbang penyemir sepatu yang kita yang katanya lebih maju, lebih modern, pintar, bla-bla-bla…
Allah mengirim dia, agar kita bisa belajar dari orang lain.

Jl. Kertanegara, Jumat siang, 21 Juli 2000
(satu lagi tentang kejujuran)

0 comments: