Sedap Sekejap Edisi 11/I-Oktober 2000

, , No Comments
Berkunjung Ke Pembuat Sosis Badranaya

Bertahan 82 Tahun
Walau Sering Dapat Hantaman

Jakarta betul-betul menawarkan aneka hidangan. Tak ketinggalan juga es
krimnya. Dari es krim dengan resep Belanda, Italia, sampai resep luar
yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan selera Indonesia. Bentuknya
pun makin variatif, begitu juga jenisnya. Nah, mari kita kunjungi
kedai demi kedai.

Puluhan tahun yang lalu kala Orang Indonesia masih sulit mendapatkan
makanan yang namanya sosis, sebetulnya sudah ada perusahaan sosis
lokal yang berlokasi di Bandung. Padahal saat itu sosis yang umumnya
beredar adalah produk impor dalam kemasan kaleng. Toh, munculnya
perusahaan sosis itu bisa diterima masyarakat terutama masyarakat
Belanda di Indonesia. Buktinya usianya bisa bertahan panjang bahkan
sampai sekarang.

Soal usia memang luar biasa. Perusahaan sosis yang kini dikenal dengan
nama Badranaya ini sudah berusia 82 tahun! Mungkin ia termasuk satu
dari sedikit perusahaan makanan yang berumur begitu panjang. Tentu
melewati usia panjang seperti ini tidak mudah. Hantaman demi hantaman
harus dihadapi Badranaya. Terutama tentu serangan kompetitor yang
datang dengan alat yang lebih canggih, promosi menggebu, dan jenis
sosis yang jauh lebih variatif.

Perusahaan sosis Badranaya didirikan tahun 1918 oleh tukang daging
bangsa Belanda. Saat itu tentu namanya bukan Badranaya. Tujuannya tak
lain untuk memanfaatkan daging sisa yang tidak terjual. Mungkin karena
saat itu susah mendapatkan makanan ini, sosis buatan Lambert Schroeder
langsung diterima kehadirannya. Tetapi tahun 1947 Lambert terpaksa
menyerahkan usahanya kepada Pemda Bandung sesuai dengan aturan
pemerintah kita yang menasionalisasikan perusahaan asing.

Dipegang oleh pemda beberapa tahun, akhirnya Pemda memberi keleluasaan
pada P.T. Tirta Ratna untuk memilikinya. Sejak itu perjalanan
Badranaya tidak mulus, lo. Apalagi setelah krisis moneter. "Wah, kami
betul-betul terhantam. Soalnya sebagian besar bahan dan bumbu masih
impor," kata Ir. Sugeng, salah seorang pemilik perusahaan ini.

Namun melalui perjuangan keras, toh, sejak 1999, Badranaya kembali
menggeliat. Bahkan sejak 11 Mei 2000 sudah menjadi P.T. sendiri dengan
nama P.T. Badranaya Putra, lepas dari holding company-nya, P.T. Tirta
Ratna.

KEMBALI KE BAHAN LOKAL

Sejalan dengan itu, Badranaya mulai melancarkan strategi lain. Salah
satunya dengan menciptakan "pandatang baru" yakni lidah asap. Ternyata
sang "pendatang baru" banyak pula penggemarnya. Bahkan kini jadi
selling point, mengalahkan produk Badranaya sebelumnya yakni sosis
ayam dan sosis sapi.

Produk lain yang menjadi ciri khas Badranaya adalah sosis telur.
"Sebenarnya itu produk yang gampang, tak terlalu rumit pembuatannya.
Karena hanya berupa adonan telur kuning atau telur putih saja yang
dimasukkan dalam selongsong sosis buatan Australia. Pembelinya
kebanyakkan katering-katering. Biasanya dipakai untuk pelengkap sup,"
ujar pengusaha yang memiliki pasokan khusus untuk bahan-bahan sosisnya
ini.

Selain sosis telur masih ada satu lagi produk unggulan, yaitu, sosis
ayam/ sapi kulit usus kambing. Sosis ayam atau sapi yang lainnya
diselongsongi plastik. "Rasanya lebih gurih, lo. Penggemarnya
kebanyakkan orang-orang yang sudah sepuh," ujarnya setengah
berpromosi.

Salah satu kiat yang membuat Badranaya mampu bertahan di zaman krismon
adalah menerapkan kembali bahan-bahan lokal. Beberapa bumbu-bumbu
impor tidak dipergunakan lagi. "Justru dengan adanya bumbu lokal,
malah makin diterima oleh pembeli. Maklum, masih lidah daerah.
Terlihat ada peningkatan konsumen setelah kami kembali ke
rempah-rempah negeri sendiri. Daging pun kita kembali ke lokal," papar
Sugeng.

DISUNTIK BUMBU

Meski bahan baku berasal dari produk lokal, toh, kualitas tetap
diperhatikan betul. Di situlah, menurut Sugeng nilai tambahnya. "Kami
tidak menggunakan flavour buatan, baik untuk sosis maupun untuk
lidah," janji Sugeng.

Untuk lidah, katanya, bau asapnya betul-betul karena lidah memang
diasapi dalam jangka waktu tertentu. Bumbunya pun terasa sampai ke
dalam lidah. "Itu karena sebelum diproses, lidah disuntikkan bumbu
lebih dahulu. Hingga bumbu betul-betul sampai di dalam. Salah satu
bumbunya adalah sari daun salam. Setelah diberi bumbu, lidah tersebut
direndam dalam air garam selama 21 hari. Makanya, untuk beli lidah
sapi dalam jumlah besar harus memesan jauh-jauh hari," terang Sugeng
yang membawahi 28 karyawan ini.

Untuk pembuatan sosis yang diproduksi tiap hari ini, kurang lebih
menghabiskan bahan baku daging sebanyak 80 kilogram daging tidak
berlemak. "Soal lemak memang kami hati-hati, harus di bawah 30 persen.
Kalau kebanyakan akan membuat sosis jadi lembek," jelasnya.

Agar mendapat daging yang dikehendaki Sugeng punya pemasok khusus yang
memelihara sapi tertentu untuk digemukkan di daerah Garut, Jawa Barat.
Daging ini kemudian digiling dan diberi bumbu-bumbu lalu dimasukkan
dalam selongsong plastik. Pengikatan dilakukan dengan mesin, tetapi,
"Saat ini terpaksa kita kerjakan dengan tangan. Mesinnya sedang rusak,
dan karena buatan Jerman, kami harus menunggu datangnya teknisi dari
sana," kata Sugeng.

Dari 80 kilogram daging tadi bisa menghasilkan 100 kilogram sosis.
Jumlah ini ternyata tidak selalu cukup. Kadang mereka juga harus
kelabakan mencari bahan baku karena kedatangan banyak pesanan.

"Pesanan memang selalu datang. Kalau beberapa tahun kami agak jatuh,
bukan karena tidak bisa bersaiang dari soal rasa, lo. Tetapi ada salah
satu pembuat sosis yang banting harga habis-habisan. Itu terjadi di
tahun 1998. Mereka bisa membuat harga yang murah sekali. Wah, terus
terang saja kita keteteran," papar Sugeng.

Di tahun 90-an, imbuh Sugeng, memang sempat terjadi bom sosis. Semua
orang membuat sosis, sampai ke penjual daging di pasar juga
ikut-ikutan membuat sosis. "Sebab saat itu bahan-bahan impor harganya
masih murah sekali. Tapi semuanya tidak berlangsung lama. Menurut saya
hanya pabrik yang memiliki nama dan modal kuat saja yang bisa
bertahan."

Namun, sekarang, perusahaan yang dulu banting harga itu juga tidak
bisa menjual sosis dengan harga semurah itu. Kini para pelanggan yang
dulu meninggalkan Badranaya untuk beralih ke produk lain, sudah
kembali lagi. "Soalnya selama ini, kita hanya satu kali melakukan
penyesuaian harga. Kalau sekarang dolar naik, kita tidak kelabakan
lagi. Karena harganya sudah dipatok dengan rate dolar yang sudah kita
tentukan pada saat menaikkan harga. Asal jangan sampai Rp. 15.000
lagi. Kalau rupiah seturun itu, ya, Saya angkat tangan, deh," ujar
bapak 2 putra ini sambil terkekeh.

Saat ini sebagian besar Sosis Badranaya dipasarkan di kota Bandung
saja. Selain melayani pembeli sosis dan daging di bagian belakang
supermarket Hero di Jl. Aceh, Badranaya juga melayani pembelian layan
antar. "Minimal pembelian di atas 2 kg. Tapi untuk pelanggan-pelanggan
khusus, biasanya katering, biarpun hanya beli 1 kg, kalau minta
diantarkan, kami siap mengantar," terangnya kembali.

Untuk sosis sapi, per kilogram dijual Rp. 28 ribu dan Rp. 26 ribu
untuk sosis sapi usus kambing. Sosis ayamnya dijual Rp 28 - Rp.30 ribu
per kilogram. Sedangkan lidah asap harganya Rp. 47.500 tiap
kilogramnya. Masih ada lagi produk yang ditawarkan Badranaya yakni
daging burger yang dijual dengan harga Rp 28 ribu per
kilogramnya.sdp@Rika Eridani, foto-foto: Rynol Sarmond

0 comments: