Sedap Sekejap Edisi 3/II-Maret 2001

, , No Comments
Frieda Ismartono

Mengajar Gumpaste Sampai Di Luar Negeri

Sehari-hari ia berhadapan dengan puluhan murid di kursus masaknya,
Dian. Banyak masakan atau kue yang sudah ia ajarkan pada para murid.
Tetapi Ny. Frieda Ismartono (53) paling senang mengajar menghias kue.
"Saya suka ketrampilan yang berhubungan dengan art." katanya. Alasan
itu pula yang kemudian membuatnya meninggalkan pekerjaannya di
perusahaan obat beberapa puluh tahun yang lalu. Keterampilan menghias
kue ini pun diakui para pakar kue di luar negeri hingga tiap tahun ia
diundang ke Amerika untuk mengajar membuat gumpaste, salah satu jenis
hiasan kue.


Anda sarjana di bidang farmasi, kok, tiba-tiba beralih menjadi guru masak?

Aneh memang. Dibilang tidak suka, ya, kok, saya dulu bisa bertahan di
Kimia Farma sampai 7 tahun. Pekerjaannya, sih, saya suka soalnya
sebagai ahli farmasi, pekerjaan saya, kan ada proses campur-mencampur,
seperti memasak atau membuat kue. Tetapi lama-lama saya jenuh juga
soalnya tidak bergaul dengan orang banyak. Satu-satunya yang saya
hadapi, ya, cuma botol-botol. Karena itu saya memutuskan beralih ke
bidang masak.

Kok, bidang masak yang Anda pilih?

Karena menurut saya masak ada keterampilan artnya. Lagi pula sejak
dulu saya memang sudah senang masak, terutama hias-menghias.
Keterampilan menghias makanan sudah saya kuasai sejak umur 10 tahun,
lo. Dulu nenek saya sangat hobi bikin pastel tutup. Setiap ada yang
ulang tahun ia selalu membuat pastel tutup. Nah, sayalah yang kebagian
tugas membuat hiasannya. Di atas pastel itu saya bikinkan bunga atau
burung.

Selain berbekal keterampilan, apakah Anda belajar memasak, bikin kue
atau menghias kue secara formal?

Iya, dong. Saya belajar di mana-mana. Mulai dari Hongkong, Bangkok,
Filipina, Australia, sampai ke Amerika. Saya mengambil paket-paket
yang cukup panjang di negeri orang. Untuk menghias kue, misalnya, saya
belajar di Iduna, Surabaya. Ini kursus menghias kue yang paling
terkenal di Surabaya. Untuk memperdalamnya saya belajar lagi bikin
gumpaste (hiasan kue yang dibuat dari gula, glatine, air, dan tapioka
yang kemudian dibuat bermacam-macam bentuk lalu dikeringkan) di
Wilton, Amerika tahun 1977, juga di Australia dan Philipina tahun
1981.

Dan sekarang ilmu itu Anda bagikan dalam kursus Anda?

Betul. Sehari saya mengajar dua kali. Pagi untuk masakan atau kue,
sore untuk menghias kue.

Banyakkah murid Ibu?

Jumlah murid memang selalu saya batasi hingga 20 orang. Tiap hari
murid yang datang antara 15 - 20 orang.

Berapa mereka harus membayar?

Tarif kursus amat bergantung pada faktor kesulitan masakan atau kue
yang diajarkan. Tapi tarif saya sama sekali tidak mahal, kok. Ya,
sekitar Rp.50 - 60 ribu. Untuk menghias kue saya sudah menciptakan 300
murid, lo. Tujuh puluh lima persen di ataranya sudah berhasil
mengikuti ujian negara. Begini-begini tempat kursus saya sudah 11 kali
menyelenggarakan ujian negara untuk kategori menghias kue. Cuma saja
beberapa tahun terakhir ini saya lebih konsenterasi mengajar di
Amerika hingga belum sempat membuka ujian negara lagi. Soalnya untuk
ujian seperti ini persiapannya panjang, bisa setahun dimuka, lo.

Oh ya, ini yang sejak tadi ingin saya tanyakan. Anda mengajar menghias
kue di Amerika. Padahal Anda, kan, belajar juga di sana. Rupanya murid
sudah jadi lebih pandai dari gurunya, ya?

Ha...ha...ha... Bukan begitu sebetulnya. Di sana saya mengajar membuat
gumpaste dan palette painting. Kebetulan saja saya bisa menemukan
teknik membuat gumpaste yang lebih praktis secara teknik pembuatan.
Gumpaste buatan mereka cenderung simpel, tetapi pengerjaannya lama.
Nah, saya menciptakan teknik yang cepat, tetapi hasilnya bisa
bermacam-macam. Dan gumpaste kita juga punya
keistimewaan, yaitu tahan terhadap kelembapan. Maklumlah kita tinggal
di negara tropis yang lembap.

Jadi tahan lama, dong?

Iya, sejak dibuat bisa bertahan sampai 2 tahun, lo. Dan hasilnya juga
bisa dimakan.

Tapi bagaimana ceritanya Anda diminta mengajar di sana?

Ini ada hubungannya dengan ICES (International Cake Exploration
Society), yakni perkumpulan para pakar yang tertarik pada art cake.
Anggotanya terdiri dari 4.500 orang yang tersebar di seluruh dunia.
Setiap tahun kami berkumpul di negara tertentu untuk berbagi ilmu,
diskusi, dan pameran. Saya menjadi anggota perkumpulan ini sejak tahun
1982. Dua tahun kemudian, dalam salah satu pameran yang
diselenggarakan ICES, ada yang mengajak saya mengajar. Setelah itu
hampir setiap tahun saya diundang, entah untuk mengajar di
universitas, tempat kursus, atau di perusahaan bahan kue.

Anda pasti bangga?

Ha...ha...ha... Betul. Tetapi yang lebih penting sebetulnya, saya
ingin membuat Indonesia tidak terlupakan. Saya ingin mereka melihat
Indonesia juga oke di bidang ini.

Apa, sih, selama ini yang Anda perkenalkan hingga mereka tertarik?

Wah, macam-macam. Selain teknik praktis yang saya sebut tadi, juga
bentuk-bentuk indah. Mereka amat suka bunga dan bentuk-bentuk lucu.
Dulu sekali ketika pameran di Kanada saya bikin gumpaste yang bergaya
Jawa. Wah, sambutannya bukan main. Saya diwawancarai di mana-mana dan
dapat kesempatan mengajar di Kanada. Tahun 2.000 kemarin, saya membawa
hiasan anjing dalam keranjang mawar. Wah, bukan main
sukanya mereka. Saya juga mengajar palette painting, yang indah, meski
pembuatannya cuma sekadar dicolek-colek. Saya juga pernah diminta
mengajar di Johar Baru Malaysia.

Tahun ini pun Anda akan terbang ke Amerika lagi untuk keperluan yang sama?

Tahun ini convention akan diadakan di Portland, Oregon, 12 Agustus
mendatang. Makanya saya sekarang juga sedang mengajak orang yang
berminat bergabung dalam ICES. Syaratnya mudah, kok. Yang penting
sudah bergerak di bidang art cake minimal 10 tahun. Saya titip pesan
lewat Sedap Sekejap, mereka yang ingin menjadi anggota bisa
menghubungi saya. Begitu juga mereka yang cuma mau ikut convention.
ada, kok, kelas untuk pemula.

Mungkin cukup besar honor yang Anda terima di sana, ya?

Ha...ha...ha...Tidak juga. Untuk setiap murid saya menerima sekitar 65
dolar Amerika. Ini untuk satu sessi. Kalau diminta mengajar 2 sampai 3
sessi, tentu lebih hasilnya. Tetapi ini tidak penting. Bagi saya, yang
utama adalah memanfaatkan pertemuan ini untuk menimba ilmu.

Anda sudah mengajar di berbagai negara, tetapi tampaknya tidak pernah
membawa masakan atau kue Indonesia ke sana, ya?

Bukan tidak mau sebetulnya, tetapi peminatnya yang tidak ada. Bagi
masyarakat luar negeri masakan kita terlalu spicy (berbumbu tajam,
Red.). Cake buatan kita pun terlalu lembut di lidah mereka. Saya
pernah cerita, ini baru cerita, lo, bahwa kita punya kue lapis legit
dan lapis surabaya yang enak dan terkenal. Waktu itu dengan bangga
saya katakan bahwa bahannya kuning telur saja. Mereka bukan kagum,
tetapi terkejut sekali. "Wah, itu kue yang tinggi lemak," kata mereka
separuh mengejek.

Oh, kalau begitu beda selera, ya?

Tepat sekali. Mereka sukanya kue yang keras. Untuk satu loyang kue
paling-paling dibutuhkan 2 butir telur. Tetapi pemakaian terigunya
banyak sekali. Untuk 2 telur bisa dipakai 200 gram tepung terigu.
Makanya mereka suka sekali makan muffin yang padat. Cake yang disukai
masyarakat Amerika adalah jenis pound cake, peringkat berikutnya
adalah fruit cake. Di Australia sebaliknya. Fruit cake termasuk cake
yang paling digemari. Pound cake sesudahnya.

Bagaimana dengan kue tradisional?

Wah, ini apa lagi. Mereka tidak mau belajar mengenal kue-kue kita.
Itulah, susahnya. Ya, tidak usah jauh-jauh, di Malaysia pun mereka
lebih suka kue modern. Orang Malaysia paling senang kalau diajarkan
membuat tiramisu. Jadi, saya datang ke sana pun antara lain untuk
mengajar hidangan penutup tersebut.

Untuk bisa menjadi pembuat gumpaste berapa lama kita harus belajar?

Untuk pemula, sebetulnya cukup 2 minggu. Hasilnya memang belum luwes
betul. Tetapi kelak bentuknya akan semakin indah setelah latihan keras
dan teratur.

Kembali ke kursus Dian. Meski sudah 26 tahun usianya, kok, ya, tetap
laris,sih. Apa rahasianya?

Saya rajin menimba ilmu. Sampai sekarang saya masih ikut kursus ke
luar negeri. Selain itu saya juga bekerja sama dengan perusahaan bahan
kue di luar negeri. Mereka bersedia memberikan pelajaran gratis, asal
saya memakai bahan buatan mereka. Nah, dalam pelajaran itu dibeberkan
bukan saja teknik baru, tetapi juga kue yang sedang populer saat ini.

Anda juga menerima pesanan kue?

Iya, tetapi tidak besar-besaran, hanya dipasarkan di tempat kursus.
Kue spesialis saya adalah lapis surabaya. Sehari bisalah terjual
sampai 20 kue. Saya juga menjual roti.

Selama ini, keluarga ikut mendukung kegiatan Anda?

Wah, iya, dong, terutama suami yang banyak mendukung di bidang
produksi. Dia juga selalu ikut ke luar negeri untuk memberi semangat.
Tanpa keluarga, saya kira, saya tidak bisa seberhasil sekarang.
sdp@Rika Eridani, Semy/ foto-foto : dok. pribadi.

0 comments: