Sedap Sekejap Edisi 1/II-Januari 2001

, , No Comments
Melongok Bisnis Kue Keranjang

Kerja 15 Hari Untuk Makan Setahun

Imlek amat identik dengan kue keranjang. Tanpa dodol berwarna cokelat
yang dibungkus daun ini, perayaan Tahun Baru Cina terasa kurang pas.
Tak heran bila sekarang-sekarang ini Anda berjalan-jalan ke pasar, di
mana-mana tampak tumpukan kue keranjang. Anehnya, kue sebanyak itu pun
ludas tandas. Tentu yang kemudian panen adalah para pembuat kue
keranjang. "Wah, ini kerja 15 hari untuk kebutuhan setahun," kata Ny.
Lauw, salah seorang pembuat kue keranjang di Tangerang.

Ny. Siti Lauw (75), namanya. Ibu sepuluh anak ini boleh dibilang sudah
expert di bidang perkue-keranjangan. Bayangkan ia sudah menangani
dodol cina ini sejak tahun 1961. Itu artinya 39 tahun ia memproduksi
kue keranjang. Pekerjaannya ringan-ringan berat. Ringan karena hanya
dikerjakan setahun sekali, 15 hari menjelang Imlek. Berat karena
pembuatannya lama dan melalui beberapa proses.

Kue keranjang adalah dodol yang dibentuk bulat. Bahan dasarnya dari
tepung ketan dan gula pasir. Lo, kok, gula pasir? Jadi, bahan apa yang
bisa membuat dodol ini jadi berwarna cokelat. Ternyata warna cokelat
itu timbul akibat fermentasi.

Tepung ketan dibuat sendiri dari beras ketan yang ditumbuk. Agar hasil
kue betul-betul halus, setelah ditumbuk, tepung masih diayak sambil
diangin-anginkan. "Gula pasirnya pun tidak langsung dicampur, tetapi
dibuat sirup dulu. Takarannya pun harus pas," jelas Ny. Lauw.

Kemudian tepung dan sirup gula tadi diuleni dan didiamkan selama 10
hari. Setelah melewati proses tadi, adonan ditambahkan lagi sirup
hingga menjadi cair. Nah, dari situ, proses pembuatan memasuki proses
pencetakan. Keranjang-keranjang bulat garis tengah 8- 10 cm disiapkan
dan dialasi daun pisang yang sudah digarang. Daun pisang ini harus
cukup tebal.

Keranjang-keranjang berisi adonan ini lalu ditata di dalam dandang
khusus untuk diuapi selama 12 jam. Nah, sehabis itu, kue langsung
dibungkus bagian atasnya. "Kalau saya, cara membungkusnya dilipat
rapi. Lain dengan orang lain. Mereka memilin daun hingga jadi lilitan
di atasnya," terang Umar Sanjaya, putra Lauw yang ikut membantu.

Kue ini bisa bertahan lama sekali. Tetapi sayangnya, tambah Lauw,
mereka tidak dapat membuatnya jauh-jauh hari. "Karena para pembeli
inginnya kue yang baru karena lebih empuk. Jadi, saya baru bikin kue
dua minggu sebelum Imlek," jelas Lauw.

Padahal, imbuh Lauw, kue keranjang yang keras pun tetap enak. Bahkan
yang sudah berjamur daun atau pinggir kuenya pun masih boleh dimakan,
asal bagian yang berjamur itu dibuang. Kue keranjang, kata Lauw selalu
bisa dipanaskan untuk memperoleh kue yang lembut lagi. "Caranya, ya,
bisa digoreng atau dikukus."

Selama setahun sekali itu Lauw bisa memproduksi 60 ribu kue keranjang.
Kue sebanyak itu menghabiskan 30 ton tepung ketan dan 20 ton gula
pasir. "Padahal dulu waktu baru-baru berusaha hanya sekitar 4 liter
beras ketan. Saya sungguh tidak mengira bisa meluaskan usaha sampai
seperti ini. Saya ini usaha 15 hari untuk makan setahun," candanya.

Di tahun 1961, Lauw memulai usaha yang diteruskannya dari sang mertua
betul-betul dari bawah. "Saya yang membuat tepung, bikin sendiri, jual
sendiri dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah di daerah Kota dan
Glodok," kenangnya.

Lama-lama usahanya berkembang. Dari kebutuhan 4 liter beras ketan
menjadi 20 liter. "Tangan saya tidak kuat meskipun sudah dibantu
anak-anak kalau mereka pulang sekolah. Terpaksalah saya mencari tenaga
bantuan," jelasnya.

Nepung sendiri

Tak dinyana memang tenaga bantuan pun terus bertambah sesuai kebutuhan
pasar. Sekarang ia mempekerjakan 70 orang tenaga. Tentu saja ini bukan
tenaga tetap. "Mereka berdatangan sendiri menjelang imlek. Dulu waktu
ibu mereka masih ada, ibunya yang kerja sama saya. Setelah orang
tuanya tidak ada, gantian anaknya yang membantu saya."

Tenaga sebanyak itu memang amat diperlukan maklumlah Lauw menumbuk
tepung sendiri. "Tepung ketan yang halus, sih, memang banyak.
Kualitasnya juga bagus. Tapi saya tidak tega kalau apa-apa
mempergunakan mesin, sementara masih banyak orang yang minta kerjaan
sama saya menjelang Lebaran atau Imlek," terang ibu sepuluh anak ini.

Para tenaga kerja ini mempunyai tugas yang berbeda tergantung dari
"jam terbangnya" Yang pintar tugasnya lebih rumit, misalnya, melipat
bungkusan daun. "Yang sudah ahli, bisa melipat dengan rapi dan tidak
boros daun. Kalau yang masih muda dan belum ada pengalaman biasanya
diberikan tugas membuat tepung."

Selepas imlek, para pekerjanya menghilang sementara. Yang tinggal
paling hanya 10 orang. Mereka tetap membantu kalau-kalau Lauw menerima
pesanan di luar Imlek. Karena saat menjelang Lebaran pun mereka
menerima pesanan dodol.

Kesuksesan ini tentu tak lepas juga dari bantuan anak-anaknya.
Terutama bantuan dari Umar Sanjaya, putranya yang nomor 8. "Dia ini
yang mengurus order sampai pengiriman. Saya tahunya di dapur saja,
kontrol bahan-bahan sama pembuatannya," lanjutnya sembari mengontrol
kerja anak buahnya.

Boleh dibilang Siti Lauw kini tinggal memetik hasil dari upaya
kerasnya selama berpuluh-puluh tahun. Kuenya yang dijual seharga Rp.
9.000 per buah itu laku keras. Tak perlu lagi ia berkeliling kota,
cukup menunggu orang yang datang memesan. Ingin belanja pun, mobil
tersedia. Kesulitannya sekarang paling-paling mencari daun pisang yang
bagus. "Bisa, sih, diganti pakai plastik seperti para penjual lain.
Tapi, kan, namanya bukan kue keranjang lagi, dong," ujarnya terkekeh.

Bagi Lauw usahanya sekarang ini sudah cukup. Ia belum berminat
melebarkan ke pasar swalayan,misalnya. "Dulu kami pernah diminta
sebuah supermarket terkenal di Jakarta untuk memasukkan Kue Keranjang.
Ternyata kue yang tidak laku atau keras dikembalikan. Nah, barang sisa
banyak sekali. Mau dikemanakan? Makanya saya tidak mau ambil risiko
lagi. Yang saya buat betul-betul sesuai pesanan," tegas Lauw. sdp@Rika
Eridani, foto-foto: Rynol Sarmond

0 comments: