P E R N I K C A N T I K


Ragam Nampan
SERBA -INDAH


Kehadiran nampan sering luput dari perhatian. Toh, fungsinya cuma
pengantar gelas atau sekadar makanan kecil. Jadi, kenapa harus cantik
dan indah? Kita lupa penampilan pertama haruslah mendatangkan kesan.
Karena itulah nampan harus indah supaya makanan yang kita sajikan pun
tampak menggiurkan.

Nampan sebaiknya dipilih dari bahan yang kuat, tak mudah pecah, namun
tetap kelihatan menarik. Selain dipergunakan untuk menyuguhkan minuman
atau makanan untuk tamu, nampan bisa dijadikan alas antaran untuk
kerabat. Fungsi lainnya? Ya, sebagai wadah buah atau tempat makanan.
Nah, ragam nampan yang indah-indah ini bisa Anda pilih salah satu.

Nampan Koleksi Galeri Keris Menteng Lantai 4 & Sedap Sekejap-
sdp@Rika, foto-foto: Rynol

Berkunjung Ke Pembuat Sosis Badranaya

Bertahan 82 Tahun
Walau Sering Dapat Hantaman

Jakarta betul-betul menawarkan aneka hidangan. Tak ketinggalan juga es
krimnya. Dari es krim dengan resep Belanda, Italia, sampai resep luar
yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan selera Indonesia. Bentuknya
pun makin variatif, begitu juga jenisnya. Nah, mari kita kunjungi
kedai demi kedai.

Puluhan tahun yang lalu kala Orang Indonesia masih sulit mendapatkan
makanan yang namanya sosis, sebetulnya sudah ada perusahaan sosis
lokal yang berlokasi di Bandung. Padahal saat itu sosis yang umumnya
beredar adalah produk impor dalam kemasan kaleng. Toh, munculnya
perusahaan sosis itu bisa diterima masyarakat terutama masyarakat
Belanda di Indonesia. Buktinya usianya bisa bertahan panjang bahkan
sampai sekarang.

Soal usia memang luar biasa. Perusahaan sosis yang kini dikenal dengan
nama Badranaya ini sudah berusia 82 tahun! Mungkin ia termasuk satu
dari sedikit perusahaan makanan yang berumur begitu panjang. Tentu
melewati usia panjang seperti ini tidak mudah. Hantaman demi hantaman
harus dihadapi Badranaya. Terutama tentu serangan kompetitor yang
datang dengan alat yang lebih canggih, promosi menggebu, dan jenis
sosis yang jauh lebih variatif.

Perusahaan sosis Badranaya didirikan tahun 1918 oleh tukang daging
bangsa Belanda. Saat itu tentu namanya bukan Badranaya. Tujuannya tak
lain untuk memanfaatkan daging sisa yang tidak terjual. Mungkin karena
saat itu susah mendapatkan makanan ini, sosis buatan Lambert Schroeder
langsung diterima kehadirannya. Tetapi tahun 1947 Lambert terpaksa
menyerahkan usahanya kepada Pemda Bandung sesuai dengan aturan
pemerintah kita yang menasionalisasikan perusahaan asing.

Dipegang oleh pemda beberapa tahun, akhirnya Pemda memberi keleluasaan
pada P.T. Tirta Ratna untuk memilikinya. Sejak itu perjalanan
Badranaya tidak mulus, lo. Apalagi setelah krisis moneter. "Wah, kami
betul-betul terhantam. Soalnya sebagian besar bahan dan bumbu masih
impor," kata Ir. Sugeng, salah seorang pemilik perusahaan ini.

Namun melalui perjuangan keras, toh, sejak 1999, Badranaya kembali
menggeliat. Bahkan sejak 11 Mei 2000 sudah menjadi P.T. sendiri dengan
nama P.T. Badranaya Putra, lepas dari holding company-nya, P.T. Tirta
Ratna.

KEMBALI KE BAHAN LOKAL

Sejalan dengan itu, Badranaya mulai melancarkan strategi lain. Salah
satunya dengan menciptakan "pandatang baru" yakni lidah asap. Ternyata
sang "pendatang baru" banyak pula penggemarnya. Bahkan kini jadi
selling point, mengalahkan produk Badranaya sebelumnya yakni sosis
ayam dan sosis sapi.

Produk lain yang menjadi ciri khas Badranaya adalah sosis telur.
"Sebenarnya itu produk yang gampang, tak terlalu rumit pembuatannya.
Karena hanya berupa adonan telur kuning atau telur putih saja yang
dimasukkan dalam selongsong sosis buatan Australia. Pembelinya
kebanyakkan katering-katering. Biasanya dipakai untuk pelengkap sup,"
ujar pengusaha yang memiliki pasokan khusus untuk bahan-bahan sosisnya
ini.

Selain sosis telur masih ada satu lagi produk unggulan, yaitu, sosis
ayam/ sapi kulit usus kambing. Sosis ayam atau sapi yang lainnya
diselongsongi plastik. "Rasanya lebih gurih, lo. Penggemarnya
kebanyakkan orang-orang yang sudah sepuh," ujarnya setengah
berpromosi.

Salah satu kiat yang membuat Badranaya mampu bertahan di zaman krismon
adalah menerapkan kembali bahan-bahan lokal. Beberapa bumbu-bumbu
impor tidak dipergunakan lagi. "Justru dengan adanya bumbu lokal,
malah makin diterima oleh pembeli. Maklum, masih lidah daerah.
Terlihat ada peningkatan konsumen setelah kami kembali ke
rempah-rempah negeri sendiri. Daging pun kita kembali ke lokal," papar
Sugeng.

DISUNTIK BUMBU

Meski bahan baku berasal dari produk lokal, toh, kualitas tetap
diperhatikan betul. Di situlah, menurut Sugeng nilai tambahnya. "Kami
tidak menggunakan flavour buatan, baik untuk sosis maupun untuk
lidah," janji Sugeng.

Untuk lidah, katanya, bau asapnya betul-betul karena lidah memang
diasapi dalam jangka waktu tertentu. Bumbunya pun terasa sampai ke
dalam lidah. "Itu karena sebelum diproses, lidah disuntikkan bumbu
lebih dahulu. Hingga bumbu betul-betul sampai di dalam. Salah satu
bumbunya adalah sari daun salam. Setelah diberi bumbu, lidah tersebut
direndam dalam air garam selama 21 hari. Makanya, untuk beli lidah
sapi dalam jumlah besar harus memesan jauh-jauh hari," terang Sugeng
yang membawahi 28 karyawan ini.

Untuk pembuatan sosis yang diproduksi tiap hari ini, kurang lebih
menghabiskan bahan baku daging sebanyak 80 kilogram daging tidak
berlemak. "Soal lemak memang kami hati-hati, harus di bawah 30 persen.
Kalau kebanyakan akan membuat sosis jadi lembek," jelasnya.

Agar mendapat daging yang dikehendaki Sugeng punya pemasok khusus yang
memelihara sapi tertentu untuk digemukkan di daerah Garut, Jawa Barat.
Daging ini kemudian digiling dan diberi bumbu-bumbu lalu dimasukkan
dalam selongsong plastik. Pengikatan dilakukan dengan mesin, tetapi,
"Saat ini terpaksa kita kerjakan dengan tangan. Mesinnya sedang rusak,
dan karena buatan Jerman, kami harus menunggu datangnya teknisi dari
sana," kata Sugeng.

Dari 80 kilogram daging tadi bisa menghasilkan 100 kilogram sosis.
Jumlah ini ternyata tidak selalu cukup. Kadang mereka juga harus
kelabakan mencari bahan baku karena kedatangan banyak pesanan.

"Pesanan memang selalu datang. Kalau beberapa tahun kami agak jatuh,
bukan karena tidak bisa bersaiang dari soal rasa, lo. Tetapi ada salah
satu pembuat sosis yang banting harga habis-habisan. Itu terjadi di
tahun 1998. Mereka bisa membuat harga yang murah sekali. Wah, terus
terang saja kita keteteran," papar Sugeng.

Di tahun 90-an, imbuh Sugeng, memang sempat terjadi bom sosis. Semua
orang membuat sosis, sampai ke penjual daging di pasar juga
ikut-ikutan membuat sosis. "Sebab saat itu bahan-bahan impor harganya
masih murah sekali. Tapi semuanya tidak berlangsung lama. Menurut saya
hanya pabrik yang memiliki nama dan modal kuat saja yang bisa
bertahan."

Namun, sekarang, perusahaan yang dulu banting harga itu juga tidak
bisa menjual sosis dengan harga semurah itu. Kini para pelanggan yang
dulu meninggalkan Badranaya untuk beralih ke produk lain, sudah
kembali lagi. "Soalnya selama ini, kita hanya satu kali melakukan
penyesuaian harga. Kalau sekarang dolar naik, kita tidak kelabakan
lagi. Karena harganya sudah dipatok dengan rate dolar yang sudah kita
tentukan pada saat menaikkan harga. Asal jangan sampai Rp. 15.000
lagi. Kalau rupiah seturun itu, ya, Saya angkat tangan, deh," ujar
bapak 2 putra ini sambil terkekeh.

Saat ini sebagian besar Sosis Badranaya dipasarkan di kota Bandung
saja. Selain melayani pembeli sosis dan daging di bagian belakang
supermarket Hero di Jl. Aceh, Badranaya juga melayani pembelian layan
antar. "Minimal pembelian di atas 2 kg. Tapi untuk pelanggan-pelanggan
khusus, biasanya katering, biarpun hanya beli 1 kg, kalau minta
diantarkan, kami siap mengantar," terangnya kembali.

Untuk sosis sapi, per kilogram dijual Rp. 28 ribu dan Rp. 26 ribu
untuk sosis sapi usus kambing. Sosis ayamnya dijual Rp 28 - Rp.30 ribu
per kilogram. Sedangkan lidah asap harganya Rp. 47.500 tiap
kilogramnya. Masih ada lagi produk yang ditawarkan Badranaya yakni
daging burger yang dijual dengan harga Rp 28 ribu per
kilogramnya.sdp@Rika Eridani, foto-foto: Rynol Sarmond

Frieda Ismartono

Mengajar Gumpaste Sampai Di Luar Negeri

Sehari-hari ia berhadapan dengan puluhan murid di kursus masaknya,
Dian. Banyak masakan atau kue yang sudah ia ajarkan pada para murid.
Tetapi Ny. Frieda Ismartono (53) paling senang mengajar menghias kue.
"Saya suka ketrampilan yang berhubungan dengan art." katanya. Alasan
itu pula yang kemudian membuatnya meninggalkan pekerjaannya di
perusahaan obat beberapa puluh tahun yang lalu. Keterampilan menghias
kue ini pun diakui para pakar kue di luar negeri hingga tiap tahun ia
diundang ke Amerika untuk mengajar membuat gumpaste, salah satu jenis
hiasan kue.


Anda sarjana di bidang farmasi, kok, tiba-tiba beralih menjadi guru masak?

Aneh memang. Dibilang tidak suka, ya, kok, saya dulu bisa bertahan di
Kimia Farma sampai 7 tahun. Pekerjaannya, sih, saya suka soalnya
sebagai ahli farmasi, pekerjaan saya, kan ada proses campur-mencampur,
seperti memasak atau membuat kue. Tetapi lama-lama saya jenuh juga
soalnya tidak bergaul dengan orang banyak. Satu-satunya yang saya
hadapi, ya, cuma botol-botol. Karena itu saya memutuskan beralih ke
bidang masak.

Kok, bidang masak yang Anda pilih?

Karena menurut saya masak ada keterampilan artnya. Lagi pula sejak
dulu saya memang sudah senang masak, terutama hias-menghias.
Keterampilan menghias makanan sudah saya kuasai sejak umur 10 tahun,
lo. Dulu nenek saya sangat hobi bikin pastel tutup. Setiap ada yang
ulang tahun ia selalu membuat pastel tutup. Nah, sayalah yang kebagian
tugas membuat hiasannya. Di atas pastel itu saya bikinkan bunga atau
burung.

Selain berbekal keterampilan, apakah Anda belajar memasak, bikin kue
atau menghias kue secara formal?

Iya, dong. Saya belajar di mana-mana. Mulai dari Hongkong, Bangkok,
Filipina, Australia, sampai ke Amerika. Saya mengambil paket-paket
yang cukup panjang di negeri orang. Untuk menghias kue, misalnya, saya
belajar di Iduna, Surabaya. Ini kursus menghias kue yang paling
terkenal di Surabaya. Untuk memperdalamnya saya belajar lagi bikin
gumpaste (hiasan kue yang dibuat dari gula, glatine, air, dan tapioka
yang kemudian dibuat bermacam-macam bentuk lalu dikeringkan) di
Wilton, Amerika tahun 1977, juga di Australia dan Philipina tahun
1981.

Dan sekarang ilmu itu Anda bagikan dalam kursus Anda?

Betul. Sehari saya mengajar dua kali. Pagi untuk masakan atau kue,
sore untuk menghias kue.

Banyakkah murid Ibu?

Jumlah murid memang selalu saya batasi hingga 20 orang. Tiap hari
murid yang datang antara 15 - 20 orang.

Berapa mereka harus membayar?

Tarif kursus amat bergantung pada faktor kesulitan masakan atau kue
yang diajarkan. Tapi tarif saya sama sekali tidak mahal, kok. Ya,
sekitar Rp.50 - 60 ribu. Untuk menghias kue saya sudah menciptakan 300
murid, lo. Tujuh puluh lima persen di ataranya sudah berhasil
mengikuti ujian negara. Begini-begini tempat kursus saya sudah 11 kali
menyelenggarakan ujian negara untuk kategori menghias kue. Cuma saja
beberapa tahun terakhir ini saya lebih konsenterasi mengajar di
Amerika hingga belum sempat membuka ujian negara lagi. Soalnya untuk
ujian seperti ini persiapannya panjang, bisa setahun dimuka, lo.

Oh ya, ini yang sejak tadi ingin saya tanyakan. Anda mengajar menghias
kue di Amerika. Padahal Anda, kan, belajar juga di sana. Rupanya murid
sudah jadi lebih pandai dari gurunya, ya?

Ha...ha...ha... Bukan begitu sebetulnya. Di sana saya mengajar membuat
gumpaste dan palette painting. Kebetulan saja saya bisa menemukan
teknik membuat gumpaste yang lebih praktis secara teknik pembuatan.
Gumpaste buatan mereka cenderung simpel, tetapi pengerjaannya lama.
Nah, saya menciptakan teknik yang cepat, tetapi hasilnya bisa
bermacam-macam. Dan gumpaste kita juga punya
keistimewaan, yaitu tahan terhadap kelembapan. Maklumlah kita tinggal
di negara tropis yang lembap.

Jadi tahan lama, dong?

Iya, sejak dibuat bisa bertahan sampai 2 tahun, lo. Dan hasilnya juga
bisa dimakan.

Tapi bagaimana ceritanya Anda diminta mengajar di sana?

Ini ada hubungannya dengan ICES (International Cake Exploration
Society), yakni perkumpulan para pakar yang tertarik pada art cake.
Anggotanya terdiri dari 4.500 orang yang tersebar di seluruh dunia.
Setiap tahun kami berkumpul di negara tertentu untuk berbagi ilmu,
diskusi, dan pameran. Saya menjadi anggota perkumpulan ini sejak tahun
1982. Dua tahun kemudian, dalam salah satu pameran yang
diselenggarakan ICES, ada yang mengajak saya mengajar. Setelah itu
hampir setiap tahun saya diundang, entah untuk mengajar di
universitas, tempat kursus, atau di perusahaan bahan kue.

Anda pasti bangga?

Ha...ha...ha... Betul. Tetapi yang lebih penting sebetulnya, saya
ingin membuat Indonesia tidak terlupakan. Saya ingin mereka melihat
Indonesia juga oke di bidang ini.

Apa, sih, selama ini yang Anda perkenalkan hingga mereka tertarik?

Wah, macam-macam. Selain teknik praktis yang saya sebut tadi, juga
bentuk-bentuk indah. Mereka amat suka bunga dan bentuk-bentuk lucu.
Dulu sekali ketika pameran di Kanada saya bikin gumpaste yang bergaya
Jawa. Wah, sambutannya bukan main. Saya diwawancarai di mana-mana dan
dapat kesempatan mengajar di Kanada. Tahun 2.000 kemarin, saya membawa
hiasan anjing dalam keranjang mawar. Wah, bukan main
sukanya mereka. Saya juga mengajar palette painting, yang indah, meski
pembuatannya cuma sekadar dicolek-colek. Saya juga pernah diminta
mengajar di Johar Baru Malaysia.

Tahun ini pun Anda akan terbang ke Amerika lagi untuk keperluan yang sama?

Tahun ini convention akan diadakan di Portland, Oregon, 12 Agustus
mendatang. Makanya saya sekarang juga sedang mengajak orang yang
berminat bergabung dalam ICES. Syaratnya mudah, kok. Yang penting
sudah bergerak di bidang art cake minimal 10 tahun. Saya titip pesan
lewat Sedap Sekejap, mereka yang ingin menjadi anggota bisa
menghubungi saya. Begitu juga mereka yang cuma mau ikut convention.
ada, kok, kelas untuk pemula.

Mungkin cukup besar honor yang Anda terima di sana, ya?

Ha...ha...ha...Tidak juga. Untuk setiap murid saya menerima sekitar 65
dolar Amerika. Ini untuk satu sessi. Kalau diminta mengajar 2 sampai 3
sessi, tentu lebih hasilnya. Tetapi ini tidak penting. Bagi saya, yang
utama adalah memanfaatkan pertemuan ini untuk menimba ilmu.

Anda sudah mengajar di berbagai negara, tetapi tampaknya tidak pernah
membawa masakan atau kue Indonesia ke sana, ya?

Bukan tidak mau sebetulnya, tetapi peminatnya yang tidak ada. Bagi
masyarakat luar negeri masakan kita terlalu spicy (berbumbu tajam,
Red.). Cake buatan kita pun terlalu lembut di lidah mereka. Saya
pernah cerita, ini baru cerita, lo, bahwa kita punya kue lapis legit
dan lapis surabaya yang enak dan terkenal. Waktu itu dengan bangga
saya katakan bahwa bahannya kuning telur saja. Mereka bukan kagum,
tetapi terkejut sekali. "Wah, itu kue yang tinggi lemak," kata mereka
separuh mengejek.

Oh, kalau begitu beda selera, ya?

Tepat sekali. Mereka sukanya kue yang keras. Untuk satu loyang kue
paling-paling dibutuhkan 2 butir telur. Tetapi pemakaian terigunya
banyak sekali. Untuk 2 telur bisa dipakai 200 gram tepung terigu.
Makanya mereka suka sekali makan muffin yang padat. Cake yang disukai
masyarakat Amerika adalah jenis pound cake, peringkat berikutnya
adalah fruit cake. Di Australia sebaliknya. Fruit cake termasuk cake
yang paling digemari. Pound cake sesudahnya.

Bagaimana dengan kue tradisional?

Wah, ini apa lagi. Mereka tidak mau belajar mengenal kue-kue kita.
Itulah, susahnya. Ya, tidak usah jauh-jauh, di Malaysia pun mereka
lebih suka kue modern. Orang Malaysia paling senang kalau diajarkan
membuat tiramisu. Jadi, saya datang ke sana pun antara lain untuk
mengajar hidangan penutup tersebut.

Untuk bisa menjadi pembuat gumpaste berapa lama kita harus belajar?

Untuk pemula, sebetulnya cukup 2 minggu. Hasilnya memang belum luwes
betul. Tetapi kelak bentuknya akan semakin indah setelah latihan keras
dan teratur.

Kembali ke kursus Dian. Meski sudah 26 tahun usianya, kok, ya, tetap
laris,sih. Apa rahasianya?

Saya rajin menimba ilmu. Sampai sekarang saya masih ikut kursus ke
luar negeri. Selain itu saya juga bekerja sama dengan perusahaan bahan
kue di luar negeri. Mereka bersedia memberikan pelajaran gratis, asal
saya memakai bahan buatan mereka. Nah, dalam pelajaran itu dibeberkan
bukan saja teknik baru, tetapi juga kue yang sedang populer saat ini.

Anda juga menerima pesanan kue?

Iya, tetapi tidak besar-besaran, hanya dipasarkan di tempat kursus.
Kue spesialis saya adalah lapis surabaya. Sehari bisalah terjual
sampai 20 kue. Saya juga menjual roti.

Selama ini, keluarga ikut mendukung kegiatan Anda?

Wah, iya, dong, terutama suami yang banyak mendukung di bidang
produksi. Dia juga selalu ikut ke luar negeri untuk memberi semangat.
Tanpa keluarga, saya kira, saya tidak bisa seberhasil sekarang.
sdp@Rika Eridani, Semy/ foto-foto : dok. pribadi.

Jajanan Bogor
Yang Selalu Dirindukan Banyak Orang


Dahulu kala kota Bogor selalu dikunjungi orang-orang Jakarta atau
daerah sekitarnya karena kota ini terkenal keindahan dan udaranya yang
nyaman. Kini kota Hujan ini pun masih ramah menyambut "tamu-tamunya"
di hari Minggu atau hari libur. Tetapi sekarang orang datang ke sini
untuk bersantap. "Jajanannya betul-betul bikin kangen," kata para tamu
itu. Nah, inilah seperangkat jajanan yang setia menarik pengunjung
datang ke Bogor.

ES PALA DAN ES MANGGA

Es pala dan es mangga selalu bisa kita temukan di berbagai tempat
jajanan. Misalnya, di ruko Siliwangi yang menjual Asinan Sedap. Isinya
tentu berupa pala atau mangga yang diserut lalu dimaniskan. Rasanya
segar dan asam manis. Per gelas harganya Rp 2.500 atau per kilonya Rp.
6.000.

Jimmy salah satu penjual es mangga di Siliwangi itu menyebutkan, ia
bisa menghabiskan 15 kilogram mangga dalam sehari. "Belanjanya sih
dekat, di Pasar Bogor saja, tapi pernah suatu kali susah sekali dapat
mangga, terpaksa beli sampai ke Pasar Kramat Jati, Jakarta," tuturnya.

Kalau sedang bukan musim mangga, dan harga mangga menjadi sangat
tinggi, Jimmy terpaksa menaikkan harga atau mengurangi isi es
mangganya. " Kalau sampai benar-benar kosong, barulah tidak jualan es
mangga," terangnya.

COLENAK

Nah, nama makanan ini rasanya tak asing di telinga kita. Colenak
merupakan kepanjangan dari 'dicocol enak'. Makanan yang terdiri dari
tapai singkong atau pisang yang dipanggang ini memang disajikan sambil
dicocol larutan gula. Kini di atasnya ditaburi kerokan daging kelapa
muda.

Sebagai makanan khas, Colenak bertebaran di mana-mana. Salah satu
warung Colenak yang terkenal dari dahulu sampai sekarang adalah di Jl.
Sukamulya II. Untuk menuju lokasi Saung Cholenak Sukamulya II No. 19,
Anda harus sedikit jalan kaki karena letaknya cuma di jalan kecil.

"Dari dulu (tahun 70-an, Red.) tempat ini jadi tempat nongkrong
anak-anak sekolah se-Bogor," ujar Pak Hasym bangga. Selain Colenak
pisang atau tapai yang jadi andalan, ada menu lain yang banyak dipesan
oleh pelanggan Saung Cholenak, yaitu, asinan jagung dan es moka kelapa
muda. Sambil menikmati hangatnya colenak, kita bisa melayangkan
pemandangan sekitar. Soalnya lokasi saung ini cukup tinggi.

Asinan jagung adalah pipilan jagung bakar dan irisan ketimun yang
disiram cuka yang sudah dimasak bersama cabai, garam, dan gula.
Dagangan ini pun cukup banyak bertebaran di Bogor. Selain di
Sukamulya, asinan jagung yang mangkal terletak di Ruko Siliwangi (di
depan Roti Venus).

LOTEK

Bentuk makanan ini tidak asing buat kita. Ada sayuran kangkung, kol,
tauge kacang panjang dan wortel. Ditambah lagi potongan kentang dan
tahu, disajikan dengan saus kacang tanah. Untuk orang Jakarta, kita
biasa menyebut sebagai gado-gado. "Disebut lotek, gado-gado, atau
pecel ya enggak apa-apa. Yang penting pembeli suka dengan lotek ini,"
ujar Ibu Ikah yang meneruskan usaha neneknya, Ibu Min.

Nama Ibu Min selanjutnya menjadi trademark lotek yang ada sejak 32
tahun lalu. "Selain dikenal sebagai Lotek Ibu Min, biasanya orang
nyebut juga Lotek Bubulak. Soalnya lokasinya, kan, di daerah Bubulak.

Lotek Ibu Min atau Lotek Bubulak ini ada di Jl. R.E. Martadinata. Dari
arah air mancur Jl. Jend. Sudirman, warung loteknya ada di sebelah
kanan, sebelum jembatan Bubulak. Warung sederhana ini tidak saja
menyediakan lotek. Kalau ingin yang segar-segar, kita bisa memesan
rujak ulek, keredok, ketoprak atau baso. Saking banyak penggemar lotek
ini, Ibu Ikah harus menyediakan 50 kg kacang tanah setiap 4 hari.
"Dulu sebelum krisis, mah, kacang 50 kilogram bisa habis dalam 2 hari
saja," jelasnya.

ES PUTER

Es puter tentu bukan minuman khas Bogor, tetapi ada es puter yang
salalu diminati pengunjung kota Bogor. Yakni Es Puter Mas Doto.
Letaknya di Jl. Sukasari. Tak usah heran kalau es ini demikian
terkenal karena Mas Doto sudah berjualan es sejak tahun 60- an. Rasa
manis esnya benar-benar dari gula.

Tiap kali produksi, per hari, Doto bisa membuat sampai 100 liter.
Biasanya tiap hari rasanya dibuat berganti-ganti. Kadang kelapa muda,
kadang avokad, nangka, dan durian. "Ya, tergantung musimlah," jelas
Pak Doto.

Menikmati es puter ini tak perlu merogoh kocek dalam-dalam. Bila
disantap bersama roti harganya cuma Rp.1.000. Tetapi bila ingin
diminum ramai-ramai, Anda bisa membeli per liter. Nah, yang ini
harganya Rp. 8.000.

Es puter yang kini juga ngetrend di Bogor adalah es puter durian.
Uniknya si durian masih dibiarkan bersama bijinya dan diletakkan di
dasar gelas. Jadi, makan es krim durian serasa makan durian sambil
disendoki.

NGOHIANG, LOMI, DAN PANGSIT PENGANTIN

Ketiganya sering kali mangkal bersamaan. Ngohiang adalah daging yang
digulung dalam kulit dan digoreng bersama adonan tepung. Tentu sesuai
namanya, ada rasa bumbu ngohiang yang cukup tajam dan khas. Ngohiang
Bogor agak berbeda dengan ngohiang yang kita kenal selama ini. Selain
adonan dan komposisi bahan yang berbeda, cara penyelesaiannya lain,
yakni digoreng dalam larutan tepung.

Sausnya pun khas, lo. Warnanya cokelat muda dan kental, bukan saus
sambal seperti yang kita kenal selama ini. Irisan ngohiang disantap
bersama kentang goreng, tahu goreng, dan asinan lobak. Harga satu
lonjor ngohiang Rp. 6.000, sementara tahu dan kentang gorengnya
masing-masing Rp. 2.000.

Lomi pun memiliki saus yang mirip, tetapi tentu lebih gurih karena
dibuat dari kaldu daging dan ebi. Isinya seperti mi kangkung, yakni
mi, kangkung, dan taoge. Tetapi kuahnya kental. Pangsit pengantin
adalah sup yang isinya terdiri dari irisan ayam, irisan sayuran, soun,
dan rolade ikan/ udang. Rasanya tentu saja sedap. Ketiga makanan ini
dapat Anda nikmati di Jl. Sukasari, Jl. Siliwangi (di seberang Ruko
Asinan Sedap), dan masih banyak tempat lain.

sdp@Rika Eridani, foto-foto: Veri Valensi

Kedai-kedai Es Krim di Jakarta

Menawarkan Es Krim Lezat
Sekaligus Tempat Yang Nyaman

Jakarta betul-betul menawarkan aneka hidangan. Tak ketinggalan juga es
krimnya. Dari es krim dengan resep Belanda, Italia, sampai resep luar
yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan selera Indonesia. Bentuknya
pun makin variatif, begitu juga jenisnya. Nah, mari kita kunjungi
kedai demi kedai.

ES KRIM RAGUSA, TEMPAT UNTUK BERNOSTALGIA

Dahulu di Batavia tahun 1932, es krim Ragusa dijual hanya setahun
sekali selama satu bulan di acara Pasar Gambir, semacam pasar malam.
Cara menjualnya pun menggunakan gerobak dorong. Karena peminat makin
banyak, tahun 1947 Ragusa bersaudara memutuskan membuka kedai es krim
secara menetap di Jl Veteran I no. 10 sampai saat ini. Pemiliknya
adalah dua bersaudara asal Italia Luigi dan Vincenso. Begitu sibuknya
mereka melayani pelanggan, sampai-sampai keduanya mendatangkan
adik-adiknya dari Italia.

Salah satu adik bungsu Luigi jatuh cinta pada sang kasir yang orang
Indonesia. Pasangan ini kemudian diserahkan meneruskan usaha yang kian
berkembang itu. Kakak sang kasir, Buntoro Kurniawan yang semula guru
pun diajak serta membantu. Akhirnya malah Buntoro-lah yang memegang
kendali ketika kakaknya memutuskan hijrah ke Italia.

Tantangan terberat yang dihadapi Buntoro saat itu, bagaimana
mempertahankan jumlah pengunjung bahkan kalau bisa meningkatkannya.
Untuk itu ia berusaha agar tidak terlihat ada perubahan sedikit pun di
ruangan tersebut. "Ruangan ini apa adanya dari tahun 40-an. Baik dekor
tembok maupun kursi rotan. Kalau rusak, kita perbaiki saja. Bahkan
cash register-nya pun masih sama. Saya menganggap semua barang di sini
bersejarah," cetus Buntoro.

Keadaan yang tidak diubah ini membuat pelanggan masih bisa
bernostalgia dengan lengkap. Pelanggan Ragusa yang sudah tua pun masih
senang datang ke situ. "Beberapa di antaranya diantar cucu. Bahkan
ada, lo kakek nenek Belanda yang menangis terharu karena masih bisa
menemukan kedai Ragusa dan bersantap di sini," jelas Buntoro bangga.
Sambil meladeni mereka kadang Buntoro mendengar cerita pelanggannya
yang sedang bernostalgia. "Mereka menyebut, di balik tembok itu mereka
berpacaran dulu," kata Buntoro menunjuk salah satu dinding sambil
tertawa.

Selain dekorasi yang tetap dipertahankan, ada satu hal lagi yang
membuat kita ingin kembali dan kembali, yakni rasanya yang tetap enak.
"Saya jamin, deh, kalau mau betul-betul makan es krim, ya, Ragusa-lah
tempatnya," janji Pak Buntoro. Ciri khas es krim Ragusa , jelas
Buntoro selalu dibuat dalam keadaan segar. Hari ini dibikin, habis
pula saat itu. Kalau habis, mereka membuatnya kembali. "Cara ini
terpaksa kami lakukan karena tanpa bahan pengawet," tandasnya.

Banana split dan es krim spageti merupakan es krim yang paling laris.
Jangan mengira ada campuran pasta di dalam es krim. Ini cuma es krim
yang dibentuk panjang-panjang mirip spageti lalu ditaburi nogat dan
sukade.

Untuk bisa menikmati es krim Ragusa, tidak perlu merogoh kantong
dalam-dalam. Satu scoop es krim hanya berkisar Rp.4000. Tahun 1976,
Buntoro dan istrinya, Sias Mawarni memutuskan menambah kedai baru di
Duta merlin. Kini cabang-cabang Ragusa tersedia di mana-mana. Antara
lain di Slipi, Ratu Plaza, dan Klender. "Beberapa di antaranya memang
terpaksa di tutup karena pertokoannya tutup dan beberapa lagi terkena
kerusuhan Mei 1997 lalu," papar Buntoro.

Promosi es krim Ragusa sendiri hanya dari mulut ke mulut. Dari orang
tua ke anak, dari teman ke teman. "Mereka saling ajak teman, ajak
saudara. Tentu saja juga karena peliputan pihak pers." Akibatnya kini
kedai Ragusa selalu penuh. Bahkan di hari Sabtu dan Minggu sudah bagi
para pelanggan mencari tempat duduk. Meskipun begitu Buntoro enggan
mencari tempat yang lebih luas. Kecuali soal keamanan dan kemudahan
transportasi, alasannya, ya itu tadi, tempat ini selalu jadi tempat
untuk bernostalgia bagi para pelanggannya.

ES KRIM LA REASSA, BERMAIN DI BENTUK CANTIK

Untuk menarik minat pembeli, agaknya tak cuma diperlukan resep es krim
andal yang lezat. Pengaruh bentuk pun turut berperan. Pasangan Ny.
Lilliani dan Ny. Yoko H. Sulistio, pemilik perusahaan es krim La
Reassa sangat menyadari hal itu. Makanya ketika mereka beralih dari
perusahaan katering ke perusahaan es krim sekitar tahun 1991, mereka
lantas membuat es krim dalam bentuk unik.

"Sebetulnya kami sudah mulai dengan Ice Cake (es krim dalam bentuk
cake) tahun 1988," ujar Lilliani. Namun, lanjutnya, karena tidak
terpegang, sementara keluarga pun menuntut perhatian, keduanya lantas
memutuskan untuk betul-betul berkonsenterasi pada usaha es krim.

Kreativitas Lilliani maupun Yoko tak sampai di situ. Mereka terus
memikirkan bentuk-bentuk yang lebih inovatif, tentu juga resepnya yang
sampai sekarang pun masih terus diperbaiki dan dikembangkan. Lewat
pemikiran yang matang, mereka pun kemudian menciptakan es krim dalam
bentuk potongan kecil yang disiram cokelat lalu dihias di bagian atas.
Hasilnya memang luar biasa. Es krim mini bentuk kotak, setengah
lingkaran, dan segitiga ini terdiri dari rasa cokelat, moka, dan
vanila.

"Es krim cantik ini betul-betul ciptaan dan ciri khas kami. Karena itu
kami ingin memberi nama yang betul-betul spektakuler. Maka saya
menghubungi dosen bahasa Inggris saya di Atmajaya, kalau-kalau ia tahu
nama yang pantas," kisah Yoko.

Sang dosen kemudian memang menghadiahkan sebuah nama cantik sesuai
dengan bentuk es krimnya yakni dainty ice cream. Artinya, kecil,
cantik, enak, dan lucu. Meski sudah dapat menghasilkan es krim
spektakulier, Lilliany dan Yoko tidak mau berhenti mencipta.
Belakangan mereka menciptakan beragam variasi seperti low calory ice
cream, diabetic ice cream, es putar, crunchy ice cream sampai es krim
yoghurt nan segar. "Dengan begitu mereka yang sudah gemuk maupun sakit
gula tak perlu takut menyantap es krim," jelas Liliani.

Bagaimana dengan resepnya? Keduanya mengaku belajar dari berbagai ahli
di samping ikut seminar. "Dari berbagai ilmu yang sudah kita dapat
itu, kita olah dan sesuaikan dengan citarasa Indonesia dan Jawa.
Maklumlah kita orang Jawa, kan? Ha...ha...ha...," canda Lilliani.

Untungnya pula, tambah Yoko, mereka punya teman yang belajar food
technology. "Kami minta saran, bagaimana membuat es krim yang enak
dengan campuran yang tepat. Tapi sampai sekarang, kita terus
memperbaiki resep. Soalnya, kan, banyak bahan baru dan teknologi baru.
Jadi terus ada pengembangan, termasuk pengembangan resep agar
pelanggan tidak bosan."

Harapan mereka untuk membuat pelanggan tidak bosan memang berhasil.
Lihat saja es krim jenis low calorie-nya yang banyak macamnya seperti
cokelat, moka, stroberi, jeruk, blueberry, jambu biji, fancy, dan
leci. Belum lagi jenis lainnya. Untuk es putar saja tersedia kopyor
kombinasi antara lain dengan ketan item, moka, advokad, durian, dan
jagung. "Untuk cokelat kombinasi kami padankan dengan kelapa muda,
nangka, kacang hijau, kacang merah, dan tape kelapa," jelas Yoko
bangga.

Bantuk es krim pun divariasikan sedemikian rupa. Ada yang berbentuk
oval (ini untuk jenis cake es krim), persegi untuk cake es krim dari
kelapa. Es krim jenis cake ini dijual antara Rp 115.000- hingga Rp
315.000, tergantung besar ukurannya. Sementara untuk jenis dainty
dijual antara Rp 100.000 hingga Rp 190.000, tergantung jumlahnya.
Minimal pembelian harus 45 buah.

La Reassa juga menyediakan cup-cup kecil yang berisi satu atau dua
scoop. Harga per cup juga bervariasi antara Rp 2500 - Rp 3500. Meski
melakukan bisnis es krim lebih mudah karena waktu pembuatan bisa
diatur, toh, ada juga hambatannya. "Yang paling susah, ya, menyediakan
dry ice. Kalau sudah kosong, kami tidak bisa mengantar pesanan," kata
Lilliani.

Karena hambatan ini, mereka sampai-sampai membayar di muka bila
memesan dry ice di hari raya. "Habis pabriknya, kan, cuma dua di
Palembang dan Lampung. Begitu pabrik berhenti produksi karena listrik
mati, misalnya, susahlah kita," keluh Yoko.

Perkara listrik juga tentu jadi masalah untuk La Reassa. Kalau matinya
cuma setengah hari masih lumayan. Karena suhu freezer di bawah 45
derajat Celcius. Karena pertimbangan ini pula La Reassa segan membuka
outlet di supermarket, misalnya. "Kami pernah lihat es krim yang cair
karena listrik mati. Nah, kalau di luar pengawasan kami seperti ini,
kami takut mutunya tidak terkontrol," kata Yoko yang sehari bisa
menghasilkan 50 liter es krim ini. sdp@Rika Eridani, foto-foto: Veri
Valensi

P E R N I K C A N T I K


Kupu-kupu Lucu

Kupu-kupu memang lucu, sekaligus juga cantik. Tak heran kalau hewan
ini sering dijadikan model pernik interior. Kini sang kupu-kupu malah
"terbang" ke dapur dalam perangkat hidang. Tentu kehadirannya tak
hanya bikin cantik si perabot, tetapi juga dapur Anda.

Uniknya sang kupu-kupu tak cuma hadir dalam bentuk gambar saja, tetapi
juga muncul sesuai bentuknya (3 dimensi) secara fungsional. Misalnya,
sebagai pegangan cangkir, peganganan mangkuk saus, atau tempat sumpit.
Tetapi sebagai hiasan di gelang serbet, alas gelas, atau nemplok di
pegangan cangkir pun oke, kok.

Nah, percantik dapur Anda dengan si kupu-kupu lucu nan cantik ini.
sdp@rika, foto-foto : Rynol

Koleksi Chic Mart, Kemang, Jakarta Selatan

Melongok Bisnis Kue Keranjang

Kerja 15 Hari Untuk Makan Setahun

Imlek amat identik dengan kue keranjang. Tanpa dodol berwarna cokelat
yang dibungkus daun ini, perayaan Tahun Baru Cina terasa kurang pas.
Tak heran bila sekarang-sekarang ini Anda berjalan-jalan ke pasar, di
mana-mana tampak tumpukan kue keranjang. Anehnya, kue sebanyak itu pun
ludas tandas. Tentu yang kemudian panen adalah para pembuat kue
keranjang. "Wah, ini kerja 15 hari untuk kebutuhan setahun," kata Ny.
Lauw, salah seorang pembuat kue keranjang di Tangerang.

Ny. Siti Lauw (75), namanya. Ibu sepuluh anak ini boleh dibilang sudah
expert di bidang perkue-keranjangan. Bayangkan ia sudah menangani
dodol cina ini sejak tahun 1961. Itu artinya 39 tahun ia memproduksi
kue keranjang. Pekerjaannya ringan-ringan berat. Ringan karena hanya
dikerjakan setahun sekali, 15 hari menjelang Imlek. Berat karena
pembuatannya lama dan melalui beberapa proses.

Kue keranjang adalah dodol yang dibentuk bulat. Bahan dasarnya dari
tepung ketan dan gula pasir. Lo, kok, gula pasir? Jadi, bahan apa yang
bisa membuat dodol ini jadi berwarna cokelat. Ternyata warna cokelat
itu timbul akibat fermentasi.

Tepung ketan dibuat sendiri dari beras ketan yang ditumbuk. Agar hasil
kue betul-betul halus, setelah ditumbuk, tepung masih diayak sambil
diangin-anginkan. "Gula pasirnya pun tidak langsung dicampur, tetapi
dibuat sirup dulu. Takarannya pun harus pas," jelas Ny. Lauw.

Kemudian tepung dan sirup gula tadi diuleni dan didiamkan selama 10
hari. Setelah melewati proses tadi, adonan ditambahkan lagi sirup
hingga menjadi cair. Nah, dari situ, proses pembuatan memasuki proses
pencetakan. Keranjang-keranjang bulat garis tengah 8- 10 cm disiapkan
dan dialasi daun pisang yang sudah digarang. Daun pisang ini harus
cukup tebal.

Keranjang-keranjang berisi adonan ini lalu ditata di dalam dandang
khusus untuk diuapi selama 12 jam. Nah, sehabis itu, kue langsung
dibungkus bagian atasnya. "Kalau saya, cara membungkusnya dilipat
rapi. Lain dengan orang lain. Mereka memilin daun hingga jadi lilitan
di atasnya," terang Umar Sanjaya, putra Lauw yang ikut membantu.

Kue ini bisa bertahan lama sekali. Tetapi sayangnya, tambah Lauw,
mereka tidak dapat membuatnya jauh-jauh hari. "Karena para pembeli
inginnya kue yang baru karena lebih empuk. Jadi, saya baru bikin kue
dua minggu sebelum Imlek," jelas Lauw.

Padahal, imbuh Lauw, kue keranjang yang keras pun tetap enak. Bahkan
yang sudah berjamur daun atau pinggir kuenya pun masih boleh dimakan,
asal bagian yang berjamur itu dibuang. Kue keranjang, kata Lauw selalu
bisa dipanaskan untuk memperoleh kue yang lembut lagi. "Caranya, ya,
bisa digoreng atau dikukus."

Selama setahun sekali itu Lauw bisa memproduksi 60 ribu kue keranjang.
Kue sebanyak itu menghabiskan 30 ton tepung ketan dan 20 ton gula
pasir. "Padahal dulu waktu baru-baru berusaha hanya sekitar 4 liter
beras ketan. Saya sungguh tidak mengira bisa meluaskan usaha sampai
seperti ini. Saya ini usaha 15 hari untuk makan setahun," candanya.

Di tahun 1961, Lauw memulai usaha yang diteruskannya dari sang mertua
betul-betul dari bawah. "Saya yang membuat tepung, bikin sendiri, jual
sendiri dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah di daerah Kota dan
Glodok," kenangnya.

Lama-lama usahanya berkembang. Dari kebutuhan 4 liter beras ketan
menjadi 20 liter. "Tangan saya tidak kuat meskipun sudah dibantu
anak-anak kalau mereka pulang sekolah. Terpaksalah saya mencari tenaga
bantuan," jelasnya.

Nepung sendiri

Tak dinyana memang tenaga bantuan pun terus bertambah sesuai kebutuhan
pasar. Sekarang ia mempekerjakan 70 orang tenaga. Tentu saja ini bukan
tenaga tetap. "Mereka berdatangan sendiri menjelang imlek. Dulu waktu
ibu mereka masih ada, ibunya yang kerja sama saya. Setelah orang
tuanya tidak ada, gantian anaknya yang membantu saya."

Tenaga sebanyak itu memang amat diperlukan maklumlah Lauw menumbuk
tepung sendiri. "Tepung ketan yang halus, sih, memang banyak.
Kualitasnya juga bagus. Tapi saya tidak tega kalau apa-apa
mempergunakan mesin, sementara masih banyak orang yang minta kerjaan
sama saya menjelang Lebaran atau Imlek," terang ibu sepuluh anak ini.

Para tenaga kerja ini mempunyai tugas yang berbeda tergantung dari
"jam terbangnya" Yang pintar tugasnya lebih rumit, misalnya, melipat
bungkusan daun. "Yang sudah ahli, bisa melipat dengan rapi dan tidak
boros daun. Kalau yang masih muda dan belum ada pengalaman biasanya
diberikan tugas membuat tepung."

Selepas imlek, para pekerjanya menghilang sementara. Yang tinggal
paling hanya 10 orang. Mereka tetap membantu kalau-kalau Lauw menerima
pesanan di luar Imlek. Karena saat menjelang Lebaran pun mereka
menerima pesanan dodol.

Kesuksesan ini tentu tak lepas juga dari bantuan anak-anaknya.
Terutama bantuan dari Umar Sanjaya, putranya yang nomor 8. "Dia ini
yang mengurus order sampai pengiriman. Saya tahunya di dapur saja,
kontrol bahan-bahan sama pembuatannya," lanjutnya sembari mengontrol
kerja anak buahnya.

Boleh dibilang Siti Lauw kini tinggal memetik hasil dari upaya
kerasnya selama berpuluh-puluh tahun. Kuenya yang dijual seharga Rp.
9.000 per buah itu laku keras. Tak perlu lagi ia berkeliling kota,
cukup menunggu orang yang datang memesan. Ingin belanja pun, mobil
tersedia. Kesulitannya sekarang paling-paling mencari daun pisang yang
bagus. "Bisa, sih, diganti pakai plastik seperti para penjual lain.
Tapi, kan, namanya bukan kue keranjang lagi, dong," ujarnya terkekeh.

Bagi Lauw usahanya sekarang ini sudah cukup. Ia belum berminat
melebarkan ke pasar swalayan,misalnya. "Dulu kami pernah diminta
sebuah supermarket terkenal di Jakarta untuk memasukkan Kue Keranjang.
Ternyata kue yang tidak laku atau keras dikembalikan. Nah, barang sisa
banyak sekali. Mau dikemanakan? Makanya saya tidak mau ambil risiko
lagi. Yang saya buat betul-betul sesuai pesanan," tegas Lauw. sdp@Rika
Eridani, foto-foto: Rynol Sarmond