Sedap Sekejap Edisi 7/I-Juni 2000

, , No Comments
Kedai-kedai Es Krim di Jakarta

Menawarkan Es Krim Lezat
Sekaligus Tempat Yang Nyaman

Jakarta betul-betul menawarkan aneka hidangan. Tak ketinggalan juga es
krimnya. Dari es krim dengan resep Belanda, Italia, sampai resep luar
yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan selera Indonesia. Bentuknya
pun makin variatif, begitu juga jenisnya. Nah, mari kita kunjungi
kedai demi kedai.

ES KRIM RAGUSA, TEMPAT UNTUK BERNOSTALGIA

Dahulu di Batavia tahun 1932, es krim Ragusa dijual hanya setahun
sekali selama satu bulan di acara Pasar Gambir, semacam pasar malam.
Cara menjualnya pun menggunakan gerobak dorong. Karena peminat makin
banyak, tahun 1947 Ragusa bersaudara memutuskan membuka kedai es krim
secara menetap di Jl Veteran I no. 10 sampai saat ini. Pemiliknya
adalah dua bersaudara asal Italia Luigi dan Vincenso. Begitu sibuknya
mereka melayani pelanggan, sampai-sampai keduanya mendatangkan
adik-adiknya dari Italia.

Salah satu adik bungsu Luigi jatuh cinta pada sang kasir yang orang
Indonesia. Pasangan ini kemudian diserahkan meneruskan usaha yang kian
berkembang itu. Kakak sang kasir, Buntoro Kurniawan yang semula guru
pun diajak serta membantu. Akhirnya malah Buntoro-lah yang memegang
kendali ketika kakaknya memutuskan hijrah ke Italia.

Tantangan terberat yang dihadapi Buntoro saat itu, bagaimana
mempertahankan jumlah pengunjung bahkan kalau bisa meningkatkannya.
Untuk itu ia berusaha agar tidak terlihat ada perubahan sedikit pun di
ruangan tersebut. "Ruangan ini apa adanya dari tahun 40-an. Baik dekor
tembok maupun kursi rotan. Kalau rusak, kita perbaiki saja. Bahkan
cash register-nya pun masih sama. Saya menganggap semua barang di sini
bersejarah," cetus Buntoro.

Keadaan yang tidak diubah ini membuat pelanggan masih bisa
bernostalgia dengan lengkap. Pelanggan Ragusa yang sudah tua pun masih
senang datang ke situ. "Beberapa di antaranya diantar cucu. Bahkan
ada, lo kakek nenek Belanda yang menangis terharu karena masih bisa
menemukan kedai Ragusa dan bersantap di sini," jelas Buntoro bangga.
Sambil meladeni mereka kadang Buntoro mendengar cerita pelanggannya
yang sedang bernostalgia. "Mereka menyebut, di balik tembok itu mereka
berpacaran dulu," kata Buntoro menunjuk salah satu dinding sambil
tertawa.

Selain dekorasi yang tetap dipertahankan, ada satu hal lagi yang
membuat kita ingin kembali dan kembali, yakni rasanya yang tetap enak.
"Saya jamin, deh, kalau mau betul-betul makan es krim, ya, Ragusa-lah
tempatnya," janji Pak Buntoro. Ciri khas es krim Ragusa , jelas
Buntoro selalu dibuat dalam keadaan segar. Hari ini dibikin, habis
pula saat itu. Kalau habis, mereka membuatnya kembali. "Cara ini
terpaksa kami lakukan karena tanpa bahan pengawet," tandasnya.

Banana split dan es krim spageti merupakan es krim yang paling laris.
Jangan mengira ada campuran pasta di dalam es krim. Ini cuma es krim
yang dibentuk panjang-panjang mirip spageti lalu ditaburi nogat dan
sukade.

Untuk bisa menikmati es krim Ragusa, tidak perlu merogoh kantong
dalam-dalam. Satu scoop es krim hanya berkisar Rp.4000. Tahun 1976,
Buntoro dan istrinya, Sias Mawarni memutuskan menambah kedai baru di
Duta merlin. Kini cabang-cabang Ragusa tersedia di mana-mana. Antara
lain di Slipi, Ratu Plaza, dan Klender. "Beberapa di antaranya memang
terpaksa di tutup karena pertokoannya tutup dan beberapa lagi terkena
kerusuhan Mei 1997 lalu," papar Buntoro.

Promosi es krim Ragusa sendiri hanya dari mulut ke mulut. Dari orang
tua ke anak, dari teman ke teman. "Mereka saling ajak teman, ajak
saudara. Tentu saja juga karena peliputan pihak pers." Akibatnya kini
kedai Ragusa selalu penuh. Bahkan di hari Sabtu dan Minggu sudah bagi
para pelanggan mencari tempat duduk. Meskipun begitu Buntoro enggan
mencari tempat yang lebih luas. Kecuali soal keamanan dan kemudahan
transportasi, alasannya, ya itu tadi, tempat ini selalu jadi tempat
untuk bernostalgia bagi para pelanggannya.

ES KRIM LA REASSA, BERMAIN DI BENTUK CANTIK

Untuk menarik minat pembeli, agaknya tak cuma diperlukan resep es krim
andal yang lezat. Pengaruh bentuk pun turut berperan. Pasangan Ny.
Lilliani dan Ny. Yoko H. Sulistio, pemilik perusahaan es krim La
Reassa sangat menyadari hal itu. Makanya ketika mereka beralih dari
perusahaan katering ke perusahaan es krim sekitar tahun 1991, mereka
lantas membuat es krim dalam bentuk unik.

"Sebetulnya kami sudah mulai dengan Ice Cake (es krim dalam bentuk
cake) tahun 1988," ujar Lilliani. Namun, lanjutnya, karena tidak
terpegang, sementara keluarga pun menuntut perhatian, keduanya lantas
memutuskan untuk betul-betul berkonsenterasi pada usaha es krim.

Kreativitas Lilliani maupun Yoko tak sampai di situ. Mereka terus
memikirkan bentuk-bentuk yang lebih inovatif, tentu juga resepnya yang
sampai sekarang pun masih terus diperbaiki dan dikembangkan. Lewat
pemikiran yang matang, mereka pun kemudian menciptakan es krim dalam
bentuk potongan kecil yang disiram cokelat lalu dihias di bagian atas.
Hasilnya memang luar biasa. Es krim mini bentuk kotak, setengah
lingkaran, dan segitiga ini terdiri dari rasa cokelat, moka, dan
vanila.

"Es krim cantik ini betul-betul ciptaan dan ciri khas kami. Karena itu
kami ingin memberi nama yang betul-betul spektakuler. Maka saya
menghubungi dosen bahasa Inggris saya di Atmajaya, kalau-kalau ia tahu
nama yang pantas," kisah Yoko.

Sang dosen kemudian memang menghadiahkan sebuah nama cantik sesuai
dengan bentuk es krimnya yakni dainty ice cream. Artinya, kecil,
cantik, enak, dan lucu. Meski sudah dapat menghasilkan es krim
spektakulier, Lilliany dan Yoko tidak mau berhenti mencipta.
Belakangan mereka menciptakan beragam variasi seperti low calory ice
cream, diabetic ice cream, es putar, crunchy ice cream sampai es krim
yoghurt nan segar. "Dengan begitu mereka yang sudah gemuk maupun sakit
gula tak perlu takut menyantap es krim," jelas Liliani.

Bagaimana dengan resepnya? Keduanya mengaku belajar dari berbagai ahli
di samping ikut seminar. "Dari berbagai ilmu yang sudah kita dapat
itu, kita olah dan sesuaikan dengan citarasa Indonesia dan Jawa.
Maklumlah kita orang Jawa, kan? Ha...ha...ha...," canda Lilliani.

Untungnya pula, tambah Yoko, mereka punya teman yang belajar food
technology. "Kami minta saran, bagaimana membuat es krim yang enak
dengan campuran yang tepat. Tapi sampai sekarang, kita terus
memperbaiki resep. Soalnya, kan, banyak bahan baru dan teknologi baru.
Jadi terus ada pengembangan, termasuk pengembangan resep agar
pelanggan tidak bosan."

Harapan mereka untuk membuat pelanggan tidak bosan memang berhasil.
Lihat saja es krim jenis low calorie-nya yang banyak macamnya seperti
cokelat, moka, stroberi, jeruk, blueberry, jambu biji, fancy, dan
leci. Belum lagi jenis lainnya. Untuk es putar saja tersedia kopyor
kombinasi antara lain dengan ketan item, moka, advokad, durian, dan
jagung. "Untuk cokelat kombinasi kami padankan dengan kelapa muda,
nangka, kacang hijau, kacang merah, dan tape kelapa," jelas Yoko
bangga.

Bantuk es krim pun divariasikan sedemikian rupa. Ada yang berbentuk
oval (ini untuk jenis cake es krim), persegi untuk cake es krim dari
kelapa. Es krim jenis cake ini dijual antara Rp 115.000- hingga Rp
315.000, tergantung besar ukurannya. Sementara untuk jenis dainty
dijual antara Rp 100.000 hingga Rp 190.000, tergantung jumlahnya.
Minimal pembelian harus 45 buah.

La Reassa juga menyediakan cup-cup kecil yang berisi satu atau dua
scoop. Harga per cup juga bervariasi antara Rp 2500 - Rp 3500. Meski
melakukan bisnis es krim lebih mudah karena waktu pembuatan bisa
diatur, toh, ada juga hambatannya. "Yang paling susah, ya, menyediakan
dry ice. Kalau sudah kosong, kami tidak bisa mengantar pesanan," kata
Lilliani.

Karena hambatan ini, mereka sampai-sampai membayar di muka bila
memesan dry ice di hari raya. "Habis pabriknya, kan, cuma dua di
Palembang dan Lampung. Begitu pabrik berhenti produksi karena listrik
mati, misalnya, susahlah kita," keluh Yoko.

Perkara listrik juga tentu jadi masalah untuk La Reassa. Kalau matinya
cuma setengah hari masih lumayan. Karena suhu freezer di bawah 45
derajat Celcius. Karena pertimbangan ini pula La Reassa segan membuka
outlet di supermarket, misalnya. "Kami pernah lihat es krim yang cair
karena listrik mati. Nah, kalau di luar pengawasan kami seperti ini,
kami takut mutunya tidak terkontrol," kata Yoko yang sehari bisa
menghasilkan 50 liter es krim ini. sdp@Rika Eridani, foto-foto: Veri
Valensi

0 comments: