, , No Comments

Kita Dijajah Perancis?
(Analisis keberadaan Carrefour di Indonesia)


Siapa sih yang enggak kenal dengan Carrefour? Sebuah jaringan pasar swalayan besar asal Perancis yang sekitar tahun 1999 mulai menguasai pasar ritel Indonesia khususnya Jakarta? "Gila aja kalau belum pernah masuk satu kali pun ke Carrefour," teriak seorang teman saat saya melontarkan pertanyaan di atas. Dari kalimat teman tadi saya bisa menyimpulkan orang-orang yang tinggal di sekitar Jabotabek, sudah pasti mengenal pasar serba ada ini. Iya juga sih. Mau belanja bulanan kek, belanja harian, atau belanja tempo-tempo bahkan cuci mata, tak ada larangan mengunjungi Carrefour. Yang jelas dengan belanja di Carrefour kita akan menemukan banyak orang menikmati mendorong trolley atau sekadar menenteng satu dua barang. Wajah mereka terlihat sumringah. Entah karena dompetnya memang tebal atau sejuk AC menerpa wajah mereka. Kenapa ya mereka terlihat gembira saat belanja ke Carrefour?

"Ah bukan gengsi kok, Ibu pilih belanja bulanan di sana. Kalau mau ngomong gengsi, Ibu belanjanya di supermarket Sogo, lah," tukas Ibu saya dengan agak sedikit sewot. Lanjutnya, "Belanja bulanan di Carrefour atau di pasar swalayan lebih enak. Enggak perlu nawar, harga langsung dari penyalurnya. Enggak seperti belanja sabun di pasar tradisional, harganya terserah yang jual dan kita harus bisa nawar. Kita juga enggak pernah tahu harganya kemahalan atau kemurahan. Kalau belanja di supermarket, paling-paling beda (harga) Hero dan Carrefour cuma sedikit." Rasanya saya setuju juga dengan pendapat Ibu saya. Kalau mau ngomong gengsi belanja di pasar swalayan yang full AC dan barang-barangnya ditata cantik, rasanya enggak relevan. Karena sebagai penduduk komuter-nya Jakarta, saya memilih belanja di pasar swalayan dekat rumah dengan alasan harga pasti dan lebih praktis.

Kalau bukan gengsi, lantas apa ya? Mungkin karena harganya murah? "Rasanya iya. Ibu sudah membandingkan harga kecap ABC di Pasar Pondok Labu, Hero sama carrefour, harganya lebih murah di Carrefour kok. Makanya untuk mengisi barang di toko, beberapa barang Ibu berani ambil dari Carrefour. Lha wong di pasar malah lebih mahal," cerita Ibu Mertua saya yang kebetulan punya toko kecil di rumah. Sepertinya enggak salah, hingga Ibu Mertua berani ambil resiko belanja di carrefour untuk dijual lagi. Belanja di swalayan grosir? "Repot! Harus punya kartu segala macam, belinya enggak bisa eceran," tukasnya.

Belum lagi adanya 'serbuan' barang-barang Perancis berlabel Carrefour yang tentunya 'bermutu tinggi' dan tidak bisa didapatkan di Hero atau Superindo. Saya pernah coba-coba membeli semacam soft drink (merek Carrefour) rasa jeruk yang rasanya so-so, tapi isinya jauh lebih banyak dan jauh lebih murah dibandingkan dengan minuman sejenisnya bikinan lokal. Atau coba deh acar Carrefour, yang rasanya lebih sedap dibandingkan acar ketimun lokal dan harganya jauuuhhh lebih sensible. Buat penggemar sarapan sereal layaknya anda coba juga sereal bikinan Perancis tersebut, so generous ketimbang sereal buatan Nestle.

Bukan gengsi, murah, lalu? "Dekat dari rumah lagi," ujar adik saya. "Lebih tepatnya deket sama kantor gue," ujar seorang teman. "Sambil makan siang mampir ke Carrefour bentar," lanjutnya. Kedekatan dan kuantitas lokasi membuatnya menarik banyak konsumen untuk meluangkan waktu sebentar melonggok ke rak-rak Carrefour terdekat.

Masih ada lagi? "Mikirin aksesibiliti buat orang kayak gue," ucap suami saya yang pengguna kursi roda. "Gue bisa belanja sendiri naik kursi roda. Dari parkiran ke lokasi supermarketnya benar-benar nyaman, bisa dicapai," imbuhnya. Kalau anda jeli, rasanya memang banyak orang-orang berkursi roda bisa keliling-keliling, menemani atau bahkan berbelanja sendiri dengan mempergunakan kursi roda. Berbeda dengan Hero atau supermarket lainnya, yang (kadang) tidak memperhatikan para pengguna kursi roda untuk bisa menuju dan beraktivitas di dalam supermarket mereka. Bahkan di Carrefour ITC Cempaka Mas terdapat satu kasir antrian khusus untuk pengguna kursi roda. Sayangnya tidak dapat dipergunakan dengan maksimal oleh yang berhak, karena ketidakpedulian sesama pembeli.

Lain lagi menurut bapak-bapak yang saya kenal. "Wah belanja atau sekadar cuci mata ke Carrefour sih saya enggak keberatan. Istri saya bisa jalan-jalan sama anak-anak, saya bisa melihat-lihat peralatan pertukangan, asesoris mobil atau barang elektronik. Kalau sudah enggak ada barang yang menarik hati saya lagi, ya nyusul istri. Itu pun saya enggak merasa bosan. Soalnya suasananya enggak membosankan." He he... bahkan bapak-bapak yang katanya anti belanja, karena Carrefour jadi doyan jalan-jalan mengantar istri belanja sayur. Belum lagi anak-anak kecil yang turut serta diajak (baik secara paksa atau sukarela) oleh orang tua mereka. "Ikut belanja ke Carrefour?" ujar keponakan saya yang berumur 5 tahun sambil membulatkan matanya, "Asyiiik... ke Carrefour. Nanti aku dibeliin mainan ya?" rengeknya. Bagaimana orang tak akan jatuh cinta tanpa syarat kepada Carrefour kalau tempat belanja ini memang super serba ada? Dari alat elektronik, peralatan bertukang, alat listrik, buku-buku segala umur, kaset-kaset original dengan harga diskon, asesoris mobil, sepatu, baju (dari bayi sampai dewasa, dari seragam baby sitter sampai nyonya-nya), tanaman asli maupun plastik. Bahkan laptop tersedia di sana, beserta berbagai asesoris komputer. Untuk anak-anak kecil tak kurang dimanjakan oleh Carrefour, dari cuddly toys sampai mainan tercanggih masa kini pun ada. Buat ibu-ibu, dari kebutuhan dapur sampai kebutuhan kamar tidur. Dari mendandani rumah sampai mendandani diri. Pokoknya just name it, lah. Dan itu semua dalam satu atap. Satu kali pergi. Satu kali parkir. Langsung beres.


** Ketergantungan **

Merasakan kenyamanan, kemudahan dan ketersediaan ragam barang di Carrefour, pernahkah menanyakan kepada diri sendiri, "Kalau tiba-tiba Carrefour ditutup, gue nanti mau belanja kemana?" Weekend nanti belanja kemana lagi ya? Belanja bulanan ke Makro lagi? Enggak ada tempat ngadem lagi, dong? Mampukah kita menghadapi hidup tanpa Carrefour di tengah kita? Bisakah kita mengalihkan nafsu belanja kepada another supermarket? Saya rasa tidak. Kita sudah sedemikian rupa tergantung dengan kemudahan dan kemanjaan yang diberikan oleh Carrefour, macam Indonesia nafasnya tersengal-sengal saat IMF berpikir ulang akankah mengucurkan dananya atau tidak.

Terasa atau tidak pelan-pelan Perancis mencoba 'menjajah' bangsa kita tercinta ini. Awalnya kita merasa diuntungkan dengan adanya Carrefour di tengah jenuhnya kehidupan Indonesia yang morat-marit ini. 'Penjajahan' yang sangat terasa adalah tampilnya produk-produk Carrefour yang nota bene bikinan Perancis yang sedikit demi sedikit mulai membanjiri pasaran Indonesia lewat jaringan pasar swalayannya ini. Dengan ketergantungan diri kita dengan berbagai ragam produk aneka rasa, bisa menjauhkan kita dengan pemakaian produk dalam negeri.

Adakah terlintas, akibat menyukai rasa biskuit impor dari Perancis, membuat sekian juta masyarakat Indonesia tak memiliki pekerjaan karena pabrik biskuit Khong Guan di Ungaran terpaksa tutup akibat adanya serbuan biskuit Perancis?


** Barang tak perlu **

Di samping membuat ketergantungan dengan berbagai kenyamanan, ketersediaan beragam barang, secara tak sadar Carrefor membuat kita menjadi manusia yang bersikap kompulsif dalam berbelanja. Bayangkan saja, dari rumah kita sudah membuat rencana akan membeli beras merek Lele Dumbo, begitu sampai di rak beras, melihat tawaran harga menggiurkan dari diskonan merek lain yang biasanya sangat mahal (padahal setelah didiskon pun jatuhnya masih lebih mahal dibandingkan beras yang biasa kita konsumsi) kita tak pikir panjang lagi menjejalkan ke dalam trolley yang isinya sudah sarat dengan barang tak berguna lainnya.

Belum lagi direpotkan tatapan memelas mata suami yang mupeng ingin memiliki satu set tool-kits dalam sebuah kemasan koper yang kompak. Padahal, kalau sudah di rumah cuma jadi pajangan saja. Kalau alat-alat di rumah dirapihkan, pasti juga sudah selengkap barang yang ia inginkan.

Kami pernah nyaris beli sofa lipat yang harganya memang sangat miring dibandingkan barang yang serupa di pameran furniture. Untungnya uang kami saat itu sedang cekak. Jadi kami 'dikembalikan ke bumi' dengan mengingat bahwa dengan membeli sofa tersebut, berarti kami tidak makan sebulan. Pilih mana?

Tapi ibu-ibu sok suci macam saya pun enggak jarang jatuh ke dalam jurang yang sama. Rasanya sudah banyak memiliki panci atau peralatan dapur lainnya, tapi rasanya tak kan pernah cukup. Selalu saja ada panci berteknologi atau model terbaru yang rasanya wajib ada di dapur kita. Belum lagi untuk ibu-ibu yang sudah atau baru memiliki anak, terasa sulit menghapus perasaan ingin membeli ini itu (yang tak perlu) atas nama 'memberi yang terbaik untuk anak'. Dari baju gaul, alat tulis, botol minum trendy sampai segala macam sabun dan susu bayi yang diiklankan di teve. Apakah semuanya itu perlu? Tidak relevan. Karena saya (dalam rangka) memberikan yang terbaik, kok. Duit-duit gue, kok elo yang protes?


** Konklusi **

Seancur-ancurnya saya 'menolak' keberadaan Carrefour, rasanya saya akan jadi salah satu orang dari sekian juta manusia Jabotabek yang terikat dalam 'Keluarga Carrefour' yang akan menangis jika Carrefour tiba-tiba gulung tikar atau ditutup oleh Gubernur DKI Jaya Bapak H.Sutiyoso yang terhormat.

Kalau Carrefour tutup, lantas amusement park saya dan suami di weekend mendatang kemana lagi dong? Belum lagi sekian ribu pegawai Carrefour yang akan kehilangan pekerjaan. Apakah ada yang bisa menyalurkan tenaga kerja tersebut? Bisa-bisa rasio pengangguran Indonesia yang sekarang sudah 30% akan makin bertambah.

Anyway, thanks to Carrefour for making our lifes better.


rika
-ke carrefour aja aahh... beli khong guan-

0 comments: