, , No Comments
Ternyata kejadian ini udah hampir setahun yang lalu ya? hiks..
Betapa cepat sang waktu berjalan...
Eniwei, mari lho dibaca lagi =)
Diambil dari arsip parokinet.
Link aslinya silakan buka di sini.

Rgds,
-ivo

_____________________________________________________

Friday, Jul/21/2000 -- ParokiNet Online
*** Kebenaran Sejati * Keadilan Illahi * Kedamaian Jiwa ***
_____________________________________________________


JUJUR
=====

Jumat siang, 21 Juli 2000

Siang ini tadi yayangku tiba-tiba nelpon.
Makan siang yuk, ajaknya. Oke, jawabku.
So she picked me up at the lobby of
Jakarta Stock Exchange building.

Selepas SCBD, kami masih belum ada ide
mau makan dimana. Ide ke soto pak Sadi
segera terpatahkan begitu melihat bahwa
yang parkir sudah sampai sebrang-sebrang.

Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado
di Kertanegara. Bisa makan di mobil soalnya.
Sampai di sana masih sepi. Baru ada beberapa
mobil. Kami masih bisa milih parkir yang enak.
Mungkin karena masih pada jumatan.

Begitu parkir, seperti biasa, joki gado-gado
sudah menanyakan mau makan apa, minum apa.
Kami pesan dua porsi gado-gado + tehbotol.

Sambil menunggu pesanan, kami pun ngobrol.
So, ketika tiba2 ada seorang pemuda lusuh
nongol di jendela mobil kami, kami agak
kaget. "Semir om?", tanyanya.

Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya
terakhir aku nyemir sepatuku sendiri?
Aku sendiri lupa. Saking lamanya.
Maklum, aku kan karyawan sok sibuk...
Tanpa sadar tanganku membuka sepatu
dan memberikannya pada dia.

Dia menerimanya lalu membawanya ke
emperan sebuah rumah. Tempat yang
terlihat dari tempat kami parkir.
Tempat yang cukup teduh. Mungkin
supaya nyemirnya nyaman.

Pesanan kami pun datang. Kami makan
sambil ngobrol. Sambil memperhatikan
pemuda tadi nyemir sepatuku.
Pembicaraan pun bergeser ke pemuda itu.

Umur sekitar 20-an. Terlalu tua untuk
jadi penyemir sepatu. Biasanya pemuda
umur segitu kalo tidak jadi tukang
parkir or jadi kernet, ya jadi pak ogah.

Pandangan matanya kosong. Absent minded.
Seperti orang sedih. Seperti ada yang dipikirkan.
Tangannya seperti menyemir secara otomatis.
Kadang2 matanya melayang ke arah mobil-mobil
yang hendak parkir, (sudah mulai ramai).
Lalu pandangannya kembali kosong.

Perbincangan kami mulai ngelantur kemana-mana.
Tentang kira2 umur dia berapa, pagi tadi dia
mandi apa enggak, kenapa dia jadi penyemir dll.

Kami masih makan saat dia selesai menyemir.
Dia menyerahkan sepatunya padaku. Belum lagi
dia kubayar, dia bergerak menjauh, menuju
mobil-mobil yang parkir sesudah kami.

Mata kami lekat padanya.
Kami melihatnya mendekati sebuah mobil.
Menawarkan jasa. Ditolak. Nyengir.
Kelihatannya dia memendam kesedihan.
Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi.
Melangkah lagi dengan gontai ke mobil
lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi.
Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya
kami juga merasakan penolakan itu.
Sepertinya sekarang kami jadi ikut
menyelami apa yang dia rasakan.

Tiba-tiba kami tersadar.
Konyol ah. Who said life would be fair anyway.
Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa
semua orang harus menyemir ? hihihi...

Perbincangan pun bergeser ke topik lain.
Di kejauhan aku masih bisa melihat pemuda tadi,
masih menenteng kotak semirnya di satu tangan,
mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil
lainnya. Bahkan, selain penolakan, di beberapa mobil,
dia juga mendapat pandangan curiga.
Akhirnya dia kembali ke bawah pohon.
Duduk di atas kotak semirnya.
Tertunduk lesu...

Kami pun selesai makan.
Ah, iya. Penyemir tadi belum aku bayar.

Kulambai dia. Kutarik 2 buah lembaran ribuan
dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir.
Lalu kuberikan kepadanya.
Soalnya setahuku jasa nyemir biasanya 2 ribu rp.

Dia berkata kalem "Kebanyakan om. Seribu aja".
BOOM. Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku.
It-just-does-not-compute-with-my-logic!

Bayangkan, orang seperti dia masih berani
menolak uang yang bukan hak-nya.

Aku masih terbengong-bengong waktu nerima
uang seribu rp yang dia kembalikan.
Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang?
But, dia merasa cukup dibayar segitu.

Pikiranku tiba-tiba melayang.
Tiba-tiba aku merasa ngeri.
Betapa aku masih sedemikian kerdil.
Betapa aku masih suka merasa kurang dengan gajiku.
Padahal keadaanku sudah -jauh- lebih baik dari dia.

Allah sudah sedemikian baik bagiku,
tapi perilaku-ku belum seberapa dibandingkan
dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya,
masih mau memberi, ke aku, yang sudah berkelebihan.

Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga.
Siang ini aku seperti diingatkan.
Bahwa kejujuran itu langka.

Sudahkah kita berani jujur?
Kepada diri sendiri,
kepada orang lain,
dan kepada Allah ?

Jakarta, 21 Juli 2000

Salam,
ivo@jsx.co.id
-------------------------------------------------------
[ Mohon hapus dan edit pesan yang tidak perlu, Save Bandwidth ! ]


_____________________________________________________

Unsubscribe? Send email to koster@parokinet.org; body: unsubscribe paroki
For other administrative questions, send email to admin@parokinet.org
_____________________________________________________


0 comments: