, , No Comments
Kompas, Sabtu, 30 Juni 2001

Memahami "Mimpi" Gus Dur
* Sindhunata



SUDAH bukan rahasia lagi bahwa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kiai itu suka berziarah ke tempat atau makam suci, dan percaya pada pesan-pesan gaib. Begitu terpilih sebagai presiden, ia langsung ziarah ke makam Kiai Mutamakin di Pati. Terakhir, sebelum berkunjung ke Australia, ia berziarah ke makam Sunan Ngundung di Trowulan, Mojokerto. "Saya datang ke sini memang karena dipanggil Mbah Usman Ngundung. Sebenarnya banyak juga ulama yang dimakamkan, tapi yang manggil saya cuma Mbah Usman Ngundung," kata Gus Dur apa adanya.Dua hari kemudian, Menteri Pertahanan (Menhan) Mohammad Mahfud MD membeberkan, ada tiga hal yang menjadi landasan bagi Presiden dalam setiap pengambilan keputusan. Pertama, realitas politik. Kedua, mendengar nasihat resmi maupun tidak resmi. Ketiga, demikian papar Mahfud sendiri, Presiden sering mendasarkan keputusannya pada pesan gaib dari langit yang datang melalui mimpi.

Mahfud mengaku, ia sendiri sering tidak paham dengan jalan pikiran Abdurrahman Wahid karena kelihatan aneh dan secara logika tidak masuk akal. Akan tetapi, Menhan yang profesor itu toh sempat berkomentar, Presiden ternyata dapat mengelola pesan dari langit itu secara baik dan apa yang dilakukan Presiden biasanya benar. (Kompas, 25/6/2001)


***
MENGHUBUNGKAN kekuasaan dan politik di satu pihak dengan mimpi atau pesan gaib di lain pihak bukanlah hal aneh dan baru dalam sejarah kekuasaan di Indonesia, khususnya Jawa. Ambil saja contoh kisah Jaka Tingkir alias Mas Karebet. Ia bermimpi bertemu dengan Sunan Kalijaga, yang menyuruhnya mengabdi pada Sultan Trenggono di Demak. Pesan gaib itulah awal yang menuntunnya menjadi Sultan Hadiwijaya, penguasa Kerajaan Pajang. Atau kisah Pangeran Mangkubumi yang bermimpi kejatuhan rembulan. Mimpi ini yang menguatkannya dalam pemberontakan melawan dinasti Paku Buwono, dan kemudian ia menyatakan dirinya sebagai Sultan Hamengku Buwono (HB) I yang merajai Mataram.

Kisah serupa berlanjut sampai ke zaman Bung Karno. Menjelang kemerdekaan, paling tidak sudah tiga kali Bung Karno berkunjung ke Menang, Kediri, yang kini dianggap sebagai petilasan Raja Jayabaya. Demikian pernah dikatakan saksi mata Lasi Suharjo, yang pada waktu itu menjabat kamituwo Dusun Menang, kepada penulis. "Sowanku mrene perlu nyuwun wahyune kraton, ayo padha bantunen (Saya datang ke sini untuk meminta wahyu keraton, kalian hendaknya membantu saya)," tutur Pak Lasi menirukan ucapan Bung Karno pada orang-orang yang menyertainya. Bung Karno hening sekitar tujuh menit, lalu bilang, "Wis kepareng, ayo padha mundur (Sudah dikabulkan, mari kita pergi)," kata Bung Karno lagi. Tak lama kemudian Pak Lasi mendengar kabar, Bung Karno sudah ngibaraken (mengumumkan) proklamasi (Sindhunata, Bayang-bayang Ratu Adil, 1999, hlm 22-23).

Zaman Presiden Soeharto pun wangsit itu tetap berperan. Demikian, misalnya, dituturkan Mbah Tomo, abdi dalem Keraton Yogyakarta, yang menjaga petilasan Kembang Lampir. Petilasan ini dipercaya sebagai tempat turunnya dua wahyu Kerajaan Mataram, yakni wahyu Gagak Emprit untuk Ki Ageng Pemanahan, yang membangun Mataram, dan wahyu Panca Purba untuk Senapati, Raja Mataram.

Waktu itu Mbah Tomo dimintai tolong oleh Sri Sultan HB IX, agar ia ikut membangun negara. Di Kembang Lampir ia mendapat wangsit, bunyinya, "Negaramu wis dadi. Gubuke dandanana, wringine siramana. Sri Narendra, Pak Harto, Sri Naranta, Sultan Kaping Sanga". Artinya: negaramu sudah jadi. Perbaikilah gubuknya, siramilah pohon beringinnya. Rajanya Pak Harto, wakilnya, Sultan IX. Menurut Mbah Tomo, negara menjadi kuat karena wahyu itu. Pak Harto dan Sri Sultan HB IX saling melengkapi. Pak Harto membangun negara, dan Sri Sultan HB IX menuntunnya untuk tidak meninggalkan kebudayaan (Ibid, hlm 39-40).

Atas beberapa alasan, Presiden Abdurrahman Wahid tidak dapat digolongkan ke dalam tradisi di atas begitu saja.

Pertama, jauh sebelum menjadi presiden, Gus Dur memang sudah suka berziarah dan percaya pada hal-hal yang gaib. Namun, hal itu dilakukannya bukan dalam rangka mengejar dan menumpuk kekuasaan, melainkan semata-mata demi kerinduan dan pengkayaan batin.

Kedua, lain dari Bung Karno atau Soeharto, Gus Dur bukan orang yang banyak hidup dari tradisi kejawen, tetapi lebih dari tradisi pesantren, yang justru sangat kritis terhadap kejawen.

Patut diingat bahwa hubungan pesantren dan kejawen tak bisa dilepaskan dari tradisi tasawuf Islam. Seperti dikemukakan oleh Mohammad Damami MA, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pesantren adalah lembaga yang sangat berjasa dalam menyebarkan "Islam kultural". Namun, selain itu pesantren adalah lembaga yang menjaga dan memelihara tradisi tasawuf Islam.

Menurut Prof Dr Simuh, juga dosen pada Fakultas Ushuluddin di atas, sejak awal kedatangannya pada abad ke-13 Masehi, ajaran Islam yang masuk ke Indonesia sangat didominasi dengan ajaran dan tradisi tasawuf. Dominasi ajaran Islam tasawuf itu tampak jelas dengan munculnya sastra Islam Melayu seperti syair-syair Hamzah Fanzuri dan sastra Islam kejawen seperti pituture (ajaran) Seh Bari pada abad ke-16.

Menurut Damami, tasawuf Islam yang dikembangkan di dalam tradisi besar pesantren adalah counterpart (rekan imbangan) bagi mistik Islam kejawen. Patut diingat, kini Islam kejawen sebagaimana dikembangkan oleh tradisi besar kerajaan Jawa dalam arti tertentu telah mengalami kemandekan. Karena itu, di masa depan, lebih daripada sebagai rekan imbangan, tasawuf Islam kiranya perlu mengambil posisi eksposisif. Pengambilan posisi macam ini bukan dimaksudkan untuk menon-aktifkan hak hidup mistik Islam kejawen, melainkan justru untuk ikut mempertahankan reputasi bahwa kebudayaan Jawa pernah memiliki khazanah mistik yang bermanfaat bagi zamannya.

Sikap moderat Gus Dur terhadap kejawen dan Islam kejawen kiranya boleh dilihat dari kacamata di atas. Penghayatan teguh terhadap tradisi tasawuf Islam, serta sikap terbuka terhadap mistik Islam kejawen itulah yang membuat Gus Dur percaya pada hal-hal yang tak dapat diterangkan dengan akal semata-mata.


***
PADA manusia pendalaman, tasawuf jelas memberikan kemampuan "di luar" pengetahuan akal. Kemampuan inilah yang dimiliki banyak kiai NU selain Gus Dur. Dulu sebelum Gus Dur jadi presiden, penulis sudah kerap mendengar kisah-kisah yang rasanya "irasional" itu. Beberapa kiai menyampaikan simbol-simbol yang diterima dalam mimpinya. Gus Dur langsung menangkap apa makna dan bakal peristiwa apa yang terkandung dalam simbol itu. Kemudian, ia mewujudkan penangkapannya itu dalam tindakan sosial atau politik yang nyata. Ternyata, banyak tindakan Gus Dur yang waktu itu terbukti jitu.

Pendalaman tasawuf para kiai NU kiranya juga makin mendekatkan mereka pada kisah-kisah Quran, hadits dan hikmah-hikmah Islam yang dikemukakan dalam bentuk tamsil, i'tibar atau perumpamaan. Misalnya, peristiwa waktu Ketua PB NU Hasyim Muzadi datang ke Pondok Al Munawir, Krapyak, Bantul, Yogyakarta, April 2001. Di hadapan para kader NU setempat, Muzadi sempat menceritakan tentang firasat yang diterima oleh seorang ulama khos, sebelum warga nahdliyin mengadakan istigotsah akbar pertama di Surabaya tahun 1996. Menurut firasat ulama tersebut, Indonesia akan mengalami krisis panjang, seperti diriwayatkan dalam kisah Nabi Yusuf.

Seperti pernah ditulis Hairus Salim, alumnus Pondok Pesantren Al Falah, Banjar Baru, Kalimantan Selatan, para santri yang pernah belajar di pesantren akan dengan cepat dan mudah menangkap, bila mereka mendengar seorang kiai bercerita semacam itu (Lih. Hairus Salim, Hikmah Kisah Yusuf dalam Krisis, Ulama Jangan Diam, dalam Basis (1998), 47, hlm 28-34). Dalam Kisah Yusuf diceritakan, waktu itu Qifthir, Raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh sapi kurus. Selain itu ia juga melihat tujuh tangkai gandum subur dan tujuh tangkai gandum kering. Raja tak mengerti arti mimpi itu, lalu ia meminta Yusuf mentakwilkannya.

Yusuf menjelaskan, tujuh tahun lamanya negara akan mengalami kemakmuran, ternak berkembang, tanaman subur, dan rakyat akan bahagia. Namun, tujuh tahun kemudian, rakyat akan mengalami kesengsaraan, tanaman tidak berbuah, ternak tak berkembang biak. Tetapi, setelah kedua masa itu berlalu, akan datanglah masa yang makmur, tenteram, dan bahagia. Yusuf berpesan, selama tujuh tahun makmur, hendaknya rakyat menyimpan gandum untuk mengatasi kelaparan yang akan datang pada tujuh tahun berikutnya.

Dalam terang kisah Yusuf ini, jelaslah apa yang ingin disampaikan oleh firasat ulama khos seperti didengar Hasyim Muzadi di atas: krisis Indonesia masih akan berlangsung, mungkin masih panjang, karena itu hendaknya rakyat makin berhati-hati.


***
SESUNGGUHNYA, kepercayaan pada mimpi atau pesan gaib, yang mungkin masih diyakini oleh banyak warga nahdliyin, adalah hal yang bisa dicari dasarnya dalam Quran. Demikian dikatakan oleh Nuruddin Amin, Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor DIY, dalam omong-omong dengan penulis seputar masalah "mimpi Gus Dur", di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, baru-baru ini.

Nuruddin memberi contoh, misalnya, dari kisah yang melatarbelakangi peringatan Idul Kurban. Suatu saat Nabi Ibrahim bermimpi, lalu ia bilang kepada anaknya, Ismail, "Wahai anakku, aku bermimpi menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?" (Surat As-Shaffat, ayat 102). Karena mimpi itu, kemudian Ibrahim hendak mengorbankan Ismail. Allah memandang kesetiaannya, lalu menggantikan Ismail dengan domba.

Atau dari kisah Nabi Yusuf. Diceritakan suatu hari Yusuf bilang pada Ya'qub, bapaknya, "Wahai Bapakku, aku melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud kepadaku." (Surat Yusuf, ayat 4). Kelak, Yusuf memang menjadi pimpinan yang berkuasa dan bijak. Bahkan Raja Mesir pun takluk pada firasat kebijaksanaannya.

Tetapi patut diingat, tidak sembarang mimpi boleh dituruti. Di sini Nuruddin mengingatkan, dalam Islam ada yang disebut Al-Ru'ya al-shalihah, yang artinya adalah mimpi yang benar. Hanya mimpi yang benarlah yang boleh dituruti. Memang sulit menentukan, manakah mimpi atau firasat yang benar itu. Untuk menentukan kriteria mimpi yang benar itu, Nuruddin memaparkan kisah Syekh Abdul Qodir al-Jaelani, tokoh sufi, yang menjadi panutan tarekat Qadiriyah ini:

Suatu hari Abdul Qodir melihat tulisan di langit, bunyinya "Abahtu laka al-muharramat" (Aku halalkan untukmu perkara-perkara yang telah aku larang). Membaca tulisan itu, Abdul Qodir langsung membentak, "Ikhasya' ya la'in" (Keparat kamu-setan-yang terkutuk). Ketika santrinya bertanya, mengapa ia membentak seperti itu, Abdul Qodir menjawab, "Innallaha la ya'muru bil fahksya" (Sesungguhnya Tuhan tidak akan memerintahkan sesuatu yang keji). Memang, tidaklah mungkin Tuhan menghalalkan apa yang dilarang-Nya.

Kisah Abdul Qodir al-Jaelani itu menjelaskan bahwa baik buruknya suatu mimpi hanya bisa dilihat dari akibatnya untuk hidup sesama. Mimpi itu baik, karena ia membawa al-Maruf, kebaikan, bagi kehidupan sesama, karena itu boleh dituruti. Mimpi itu jelek, karena ia membawa al-Mungkar, kejelekan, bagi kehidupan bersama, karena itu tidak boleh dituruti.


***
DARI uraian-uraian di atas bolehlah kita menyimpulkan bahwa penglihatan, mimpi, dan pesan gaib adalah pengetahuan religius, yang lahir dari pengalaman mistik. Betapa pun "irasionalnya", pengetahuan religius-mistik itu adalah suatu pengetahuan, yang melekat pada hidup manusia religius.

Menurut teolog Perancis Henri de Lubac, pengetahuan mistik itu lokasinya adalah roh, lain dengan pengetahuan filsafat yang lokasinya adalah rasio. Sifat pengetahuan mistik itu adalah affektif dan vital, berbeda dengan pengetahuan filsafat yang rasional. Cara manusia memperoleh pengetahuan mistik itu adalah menunggu dan pasif, sementara pengetahuan filsafat diraih dengan mencari dan aktif. Kendati berbeda, kedua pengetahuan itu tidaklah bertentangan. Justru dalam pengetahuan mistiklah, pengetahuan manusia dapat melompat meraih kepenuhannya. Karena itu, dalam istilah De Lubac, lompatan mistik itu bukanlah suatu luxus.

Jadi betapa pun "irasionalnya", pengetahuan mistik itu sungguh nyata dalam realitas pengalaman manusia. Mungkin itulah pengalaman Gus Dur, sampai ia sebagai seorang intelektual dapat menerima segala wisik yang kelihatannya tak masuk akal. Mungkin pengalaman itu pula yang membuat Gus Dur yakin, bahwa realitas sosial dan politik di Indonesia tidak dapat diterangkan dengan akal semata-mata. Memang, jauh sebelum menjadi presiden, Gus Dur sering bilang, bahwa teori politik mana pun tidak bisa menjelaskan fenomena politik di Indonesia. Fenomena politik Indonesia demikian kompleks karena mencakup hal-hal mistis yang berada di luar rasionalitas politik.

Pendapat di atas kiranya bisa dipahami dengan lebih persis dengan mengacu pada pemikiran Emile Durkheim. Menurut Durkheim, institusi manusiawi seperti agama bukanlah akibat dari khayalan manusia saja. Bisa saja agama terbentuk karena mimpi, angan-angan dan visi manusia, yang mungkin bertentangan dengan akal. Tapi agama demikian ini paling tidak berfungsi dalam memenuhi suatu tuntutan atau tujuan pembentukan masyarakat.

Karena itu betapa pun irasionalnya, realitas yang rasanya mistis itu tidak boleh diabaikan begitu saja. Realitas macam ini mungkin yang mendukung Gus Dur, sampai ia begitu yakin akan posisinya. Sekaligus, ia minta, agar lawan-lawan politiknya tidak melalaikan realitas itu. Memang, melalaikan realitas itu bukan hanya berarti melalaikan sejarah dan meniadakan apa yang benar-benar ada, tapi juga membawa risiko perlawanan yang luar biasa. Maklum, mereka yang hidup dalam realitas itu tak lagi akan mempergunakan akal, tapi perasaan, angan-angan, firasat, yang bisa menjadi sumber inspirasi untuk bertindak nekat dan berani, bila mereka merasa ditiadakan.

Tetapi, di lain pihak patutlah diingat, jangan sampai Gus Dur dan pengikutnya menjadikan alasan di atas sebagai pembenaran untuk mengokohkan posisinya semata-mata. Memang, banyak orang maklum, selama Orde Baru banyak warga nahdliyin "dilukai" oleh kekuasaan yang mengandalkan rasionalitas akal semata-mata. Di zaman reformasi ini pun mereka masih merasa "dilukai" dengan cara serupa.

Tidaklah benar, jika untuk mengobati "luka" itu orang menggunakan hal-hal di luar rasio manusia. Kata Juergen Habermas, luka yang disebabkan oleh rasio, harus disembuhkan lewat rasio pula.

Rasio di sini bukanlah rasio kekuasaan yang bisa dengan mudah beralih rupa menjadi mitos kekuasaan, tetapi rasio yang toleran dan terbuka. Dengan rasio yang terakhir ini, mereka yang rasional akan makin menjadi rasional, jika mereka mau sabar dan menerima apa yang tidak atau belum terlalu rasional. Mereka yang mistis dan mungkin "irasional", akan menjadi makin rasional, jika mereka terbuka pada tuntutan rasio dan tidak mengukuhi hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Tampak bahwa panggung politik, di mana sedang terjadi pertentangan kelompok Gus Dur dan kelompok lawan politiknya, bukanlah pertentangan politik semata-mata, tapi juga pertentangan penghayatan religius dan keyakinan rasional. Yang bisa mengatasi pertentangan ini bukanlah penghayatan dan keyakinan masing-masing pihak tetapi rasio yang terbuka dan toleran.

Memang saat ini panggung politik kita sedang menjadi ajang bagi fides quaerens intellectum, iman yang sedang menantang akal. Memutlakkan intellectum akan berakibat kejumawaan yang fatal. Memutlakkan fides akan berakibat kekanak-kanakan yang tidak masuk akal. Bila nanti dengan intellectum kita dapat memberi jawaban terhadap tantangan fides, saat itulah kita akan mengalami pencerahan. Wallahu a'lam!

* Sindhunata, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta.

0 comments: