Menanti Kembalinya Semar

Oleh Sindhunata


DUA tahun lalu, penulis diminta oleh harian ini untuk menulis pendapat orang-orang kecil tentang pemilu. Dari seorang mantan pemain ludruk di Malang, penulis memperoleh secarik ramalan, yang dituturkan oleh almarhum Mbah Begawan Rajasuwala dari Brongkos, Kesamben, Blitar. Mantan pemain ludruk tersebut menerima ramalan itu pada tanggal 11 Juni 1994.

Tertulis dalam ramalan itu urutan demikian. Tahun 1996: Wong main dadu ana latar (Orang bermain dadu di pekarangan). Maknanya, tahun 1996 banyak orang berspekulasi menghamburkan uang. Tahun 1997: Mangan jambu kluthuk (Makan jambu mentah). Maknanya, perut menjadi senep, dan orang-orang pun mulas karena krisis. Tahun 1998: Ana pasar gedhe (Ada pasar besar). Maknanya, uang orang kecil kalah dengan uang dollar.

Tahun 1999: Akeh wong dhodhol dawet mikul (Banyak orang menjual dawet dengan pikulan). Maknanya, banyak partai politik bermunculan menawarkan dirinya. Tahun 2000: Wong padha jotosan (Orang-orang saling berjotosan). Maknanya, warga masyarakat saling berkelahi. Dan tahun 2001: Wong lungguh pating plongo (Orang duduk bingung terlongong-longong). Maknanya, warga masyarakat, lebih-lebih orang kecil, jadi korban, bingung, tak tahu apa yang harus dikerjakan.

Mbah Rajasuwala memberikan ramalan itu tahun 1994. Ternyata sejak tahun 1996 terjadilah rangkaian peristiwa ini: Karena kita menghamburkan uang, kita pun terjerumus ke dalam krisis dan utang, dan kita pun dihimpit oleh kekuatan uang dollar. Pemilu 1999 datang, lebih dari seratus partai bermunculan, tahun 2000 kita bertikai terus menerus, elite politik kita saling jotosan. Dan karena pertikaian itu diteruskan, maka pada tahun 2001 ini kelihatan gejala, rakyat kecil jugalah yang bakal terlongong-longong susah.

Menurut kebatinan Jawa, ramalan bukan pertama-tama menunjuk pada kebenaran atau kepastian. Ramalan pada pokoknya hanyalah mengingatkan, agar kita mau senantiasa eling lan waspada (ingat dan berhati-hati). Sayang sejak merekahnya reformasi, kita takabur dan lupa diri. Maka tak heran, jika sekarang kita terperosok ke dalam kejadian seperti diramalkan oleh Mbah Rajasuwala itu, atau ke dalam zaman yang penuh kutukan, yang biasa disebut Kalabendu.


***
KALABENDU, itulah lakon yang digarap dan kemudian dipentaskan oleh Ki Manteb Sudharsono di Solo, menyambut perayaan 1 Suro lalu. Adegan paling dramatis dan tragis dalam pentas itu adalah perang Bharatayudha, yang dihabiskan oleh Ki Manteb hanya dalam beberapa jam saja. Perang Bharatayudha adalah lakon angker. Tak banyak orang berani mementaskannya. Kalaupun mementaskan, hanya satu episode saja yang diambil, misalnya episode Bisma Gugur, atau Karno Tanding, atau Dorna Gugur.

Malam itu Ki Manteb menggebrakkan semua episode Bharatayudha sekaligus dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Satu persatu tokoh Kurawa terbunuh dan mati, demikian juga anak-anak Pandawa. Ketika Prabu Suyudana, tokoh terakhir Kurawa gugur, tak kelihatan di mana kemenangan Pandawa. Yang diperlihatkan justru kesepian seorang Destarata, ayah Kurawa, yang kehilangan semua anaknya, bahkan ditinggalkan oleh Dewi Gendari, istrinya.

Jika dipentaskan dalam salah satu episodenya saja, Bharatayudha memang bisa menjadi permenungan tentang kemenangan kebaikan atas kejahatan. Tetapi, jika semua episode dihabiskan sekaligus dalam sekali pentas, Bharatayudha menjadi panggung kengerian, di mana orang terheran-heran bahwa ternyata kebaikan pun bisa menjadi kejam dalam memenangkan diri atas kejahatan. Ya, apa arti kemenangan, jika ia hanya menyisakan kebaikan dalam kesendirian dan kesepiannya? Memakai bahasa realis-magis Gabriel Garcia Marquez, pengarang novel Seratus Tahun Kesunyian, kemenangan macam itu hanyalah sebuah tumpukan kotoran, dan pemenang yang berkubang di atasnya hanyalah seperti seekor babi.

Seusai pentas, penulis sempat menemui Ki Manteb dan menggurauinya, "Pak Manteb, kok Anda tega menghabiskan Bharatayudha hanya dalam semalam saja? Kalau lakon ini benar-benar jadi kenyataan, nanti Anda ikut bersalah lho." Ki Manteb menjawab serius, "Hati saya gregetan. Saya mau mengungkapkan kenyataan, supaya kita takut akannya lalu tak ingin membuatnya."

MENGAMATI kejadian akhir-akhir ini, apa yang dipentaskan dalam lakon Bharatayudha, juga apa yang diramalkan Mbah Rajasuwala itu rasanya sudah menjadi ancaman yang hampir terjadi.
Lihatlah peristiwa di Pasuruan (Jatim). Bagaimana peristiwa itu bisa terjadi, padahal dalam sejarah kita terbukti, bahwa kaum nahdliyin dan marhaen, santri dan nasionalis itu bisa rukun bersatu? Tidakkah di tengah ketegangan apa pun selalu bisa terjalin hubungan akrab antara Soekarno dan Hasyim Asyari? Setelah Pemilu 1999, hubungan saudara itu diaktualkan kembali dalam keakraban Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Sekarang, dengan peristiwa perusakan di Pasuruan, yang mungkin saja merebak di kota-kota Jawa Timur lainnya, hubungan itu kelihatan retak. Jika kedua kelompok besar, yang bersaudara secara tradisional ini benar-benar jotosan, tidakkah "Bharatayudha" tak terelakkan lagi?

Kita memang sedang dalam zaman Kalabendu. Pada zaman ini, roh-roh jahat gentayangan merasuki siapa saja. Karena itu, orang yang dulunya kelihatan baik pun bisa terkena kutukan Kalabendu dan menjadi jahat. Dalam ritual wayang, krisis dan kemelut Kalabendu digambarkan dalam adegan gara-gara. Tetapi, dalam wayang, gara-gara bukanlah kata akhir. Justru karena gara-gara-lah, kita bisa masuk ke dalam alam ketenteraman. Tetapi, gara-gara itu tak mungkin reda, jika tiada Semar.

Siapakah Semar yang kita harapkan, yang bisa meredakan gara-gara, yang sedang kita alami? Perkenankan di sini, penulis mengutarakan suatu pengalaman yang sifatnya personal. Dalam suatu seminar wayang di Yogyakarta tahun 1994, penulis berbicara mengenai Semar, lalu ada yang bertanya: Menurut Anda, siapakah Semar itu? Spontan penulis menjawab, "Semar itu pasti bukan Pak Harto. Semar itu adalah Gus Dur (Abdurrahman Wahid)."

Waktu itu, dan kiranya sampai detik ia belum jadi presiden, Gus Dur memang mengkorporasikan Semar. Perawakan dan wajahnya seperti Semar. Seperti Semar, ia adalah pengembara, berkelana ke mana-mana, tak terikat oleh tempat mana pun. Seperti Semar, ia tidak terikat pada bentuk. Kendati tidak rupawan, ia memikat, dan dengan humor kritisnya ia bisa mendekonstruksi segala kemapanan. Seperti Semar, ia tidak terikat pada posisi, malahan ia adalah pengkritik keras kekuasaan. Seperti Semar, ia adalah pembela dan pengejawantahan aspirasi wong cilik. Dan seperti Semar, Gus Dur yang kiai itu adalah mediator, yang bisa memperantarakan jeritan wong cilik di Bumi pada Yang Ilahi di Surga.

"Bharatayudha" sedang di depan mata. Kalabendu sedang jahat-jahatnya. Gara-gara sedang minta diakhiri. Gus, inilah saat di mana wong cilik paling mengharapkan datangnya Semar. Sampeyan pernah dihinggapi "wahyu Semar", Gus. Janganlah Sampeyan mengingkari panggilan Semar-mu. Gus, justru inilah saat, di mana Sampeyan diuji untuk membuktikan ke-Semar-an Sampeyan yang sejati.


* Sindhunata, budayawan, tinggal di Yogyakarta.

Kompas, 30 Mei 2001
--------------------------------------------------------------------------------
I want to spent my times here with you...
ada lagu menyayat hati
berisikan syair cinta dan kerinduan
ragaku terasa tak bertuan
kosong dan dingin

ada lagu menyayat hati
tentang kangen dan pelukan
jiwaku tak lagi menari-nari dalam tingkah dan suara
diam membisu

ada lagu menyayat hati
di tengah malam gerimis
memandang bidang kosong di sampingku
tak ada pelukan hangat yang menenangkan

satu bulan setengah kok lama beneeeeeeeerrrrrrrr.......
aku kangen sama kamu cintakuuuuuuuuuuu.....
kangen sama gelitikanmu
kangen sama hembusan nafasmu
kangen sama geliat dan wangi tubuhmu
kangen sama ciumanmu yang panas menggoda
kangen sama gaya cuddling kita yang ajaib :)
kangen sama gaya marahan kita
kangen sama gila-gilaan keliling kota
kangen sama acara berdoa kita
kangen sama kepanikan kita
kangen sama malas bangun tidur

aku cuma kangen sama kamu...

Jakarta, 7 Maret 2001
sepinya jiwaku
merana hatiku
sekosong sosokmu di sisiku
tubuh dan jiwaku menggigil merindukan hadir dirimu
mengisi hari
mengisi rasa
mengisi tawa dan tangis
bersama lagi...

(kangen, nek!)
I'm proud of you, Bro! Go get it!
Le Ragazze

le ragazze si lanciano ad occhi chiusi nelle avventure
qualche volta confondono la bugia e la verita'
seguono l'istinto e l'istinto le auitera'
sono treni in corsa che nessuno fermera'

le ragazze decidono il destino dei loro amori
i ragazzi s'illudono ma non contano un gran che...
quando ti sorridono e'probabile che sia un si
ma quando so allontanano e'no! e tu...

ci devi stare inutile sperare di recuperare se hanno detto no
meglio sparire non telefonare per sentrisi dire un'altra volta no
come se non t'importasse piu' senza farti mai vedere giu'
si puo' amare da morire ma momire d'amore no!

le ragazze che ispirano tutti testi delle canzoni
sono sempre al centro dei discorsi di tutti noi
che non conosciamo nemmeno la meta'
di tutti quel che pensano e dei segreti che ognuna ha

le ragazze volteggiano sulle ali degli aquiloni
e noi innamorati che le seguiamo da qua aggiu'
guarda come planano... qualcuna scendera'
ma quando si allontanano e'no! e tu...

ci devi stare inutile sperare di recuperare se hanno detto no
meglio sparire non telefonare per sentirsi dire un'altra volta no
come se non t'importasse piu' senza farti mai vedere giu'
si puo' amare da morire ma morire d'amore no!

le ragazze che sfidano le opinioni della gente
hanno gli occhi limpidi di chi dice la verita'
senza compromessi ne' mezze misure
sono piu' sincere le ragazze della nostra eta'

- Neri Per Caso

(aku persembahkan untuk dia tersayang di balik bumi Indonesia)
andai kau jadi bunga
aku pasti jadi kumbangnya
andai kau putri Raja
aku pasti sang Pangeran

andai kau pantai yang indah
kan ku belai dengan ombakku
andai kau sebuah pelangi
aku akan jadi langitmu

walau takkan nyata
ku ingin kau mengerti
untuk 1000 puisi
takkan cukup ungkapkan cintaku dan rindu
takkan cukup ungkapkan sayangku padamu

walau sederhana, ku ingin kau mengerti
walau apa adanya, ku cipta puisi untukmu


(BIP-bongky-indra-pay) - a raising star band is born...
capek euy... siapa bilang PENGANGGURAN itu cuma nonton telenovela doang???
listrik mati, PAM macet. hanya problem biasa atau sabotase?

(orang Jakarta makin paranoid)
aku terlalu mencintaimu...

(I'm so sorry, hun... I luv you... :x)
di tengah rumitnya jaringan kutemui dirimu
antara ada dan tiada
meski dirimu hadir hanya melalui ruwetnya kabel-kabel
nyatanya makin mendekatkan kita
pertemuan dan janji kita jalani
sambil menunggu waktu pertemuan kita nanti...

(kangen deh sama suamiku...)