kecewa,
sedih,
bingung,
pengen protes,
mau marah...
tapi cuma bisa diam...
this evening... really touched my heart. I couldn't give them million... I just wanna share laughs, jokes, crazyness...

(thanks lots to all my friends at Majalah Sedap Sekejap. I love you all... )
suatu hari sahabatku mengadu. "aku tak suka kalau orang-orang di sekitar kita membicarakan hal yang buruk kepadamu," ungkapnya dengan berapi-api. lanjutnya lagi dengan penuh emosi, "aku ingin bilang kepada mereka bahwa engkau tak seburuk itu. aku ingin mereka tahu bahwa engkau lebih unggul dibandingkan mereka."

aku hanya bisa diam. mengolah kembali kata-kata sahabatku. mencoba instropeksi kesalahan yang telah aku buat. aku hanya manusia, rasanya tiap langkah telah aku kelola dengan baik. keputusan dan kata-kata keluar dengan segala perhitungan resiko.

ya, aku hanya manusia.
sengaja maupun tidak aku hanya bisa mohon maaf.
maafkan aku teman...

(you're great buddy of mine)
Kemarin siang, gue makan siang di gado-gado Kertanegara, setelah jemput yayang di Jakarta Stock Exchange Building. Kebetulan juga kita dapat parkir yang enak pas di bawah pohon rindang. Jadilah kita pesan dua porsi gado-gado dan teh botol. Sewaktu menunggu pesanan, tiba-tiba kita ditawari oleh cowok berusia sekitar awal 20-an. "Semir, Oom," tawarnya. Karena merasa males nyemir sepatu, dan kebetulan sepatu cowok gue memang belum tersentuh semir lagi, serta merta dia menyanggupi.

Kita masih ngobrol terus, sambil nunggu gado-gado datang. Sementara itu si tukang semir sepatu yang sedang bekerja menyemir sempat masuk juga dalam perbincangan kita siang itu. Eh, gado-gadonya udah datang. Ya sambil makan dan ngobrol dong. Belum abis gado-gado, sepatunya udah kelar. Hmm… rapi juga kok kerjaannya. Herannya, anak itu malah ninggalin kita setelah menyerahkan sepatu yang sudah tersemir tadi. "Lho kok malah cabut sih?’ tanya cowok gue. Sambil lalu gue jawab, "Kan dia lagi cari pelanggan lain?"

Ternyata si penyemir sepatu tadi masih jadi salah satu topik pembicaraan. Menilik bajunya yang agak dekil, kayaknya dia enggak mandi beberapa hari. Kami pun mafhum, siapa tahu dia anak jalanan, siapa tahu dia homeless, dan banyak perkiraan lainnya. Gue masih takjub dengan anak ini. Soalnya tiap kali dia menawarkan jasanya, dan orang-orang menolak, dia cuma nyengir. lalu dia kembali ke depan pintu rumah, yang sepertinya dijadikan markasnya sambil menunggu mobil yang datang. Setelah ditolak, dia akan balik ke tempat semula. Lalu dia seolah merenung, matanya agak kosong dan menerawang jauh. Bener juga gue pikir, cowok gue sempat mengomentari pekerjaannya itu. "Untuk anak sebesar dia, harusnya dia sudah alih profesi. Pekerjaan menyemir sepatu terlalu mudah buat dia. Seharusnya dia mungkin sudah jadi kernet, atau tukang parkir. Minimal jadi pak ogah, lah," katanya.

Akhirnya, kita sudah tandaskan gado-gado yang makin ramai pengunjungnya itu. Mungkin udah pada selesai Jumat-an, kali, ya? Sementara itu, mata gue masih menatap si penyemir sepatu tadi. Terlihat dia berdiri dan memandangi mobil-mobil yang keluar masuk. Gue lambaikan tangan untuk memberikan uang semir sepatu tadi. Eh, dia malah memanggil si joki gado-gado. SI penyemir sepatu tadi malah kembali memandangi jalan. Mau dibayar enggak, sih? Kok santai amat, ya? Joki gado-gado yang memanggil anak tadi. Baru dia beranjak ke arah mobil kita dan langsng menuju tempat cowok gue duduk. Gue sendiri masih sibuk membayar makanan yang sudah kami makan. Gue cuma tahu kalau cowok gue lagi menyiapkan dua lembar uang ribuan, karena sempat bertanya-tanya kira-kira berapa harga menyemir sepatu. Barulah gue meoleh ke samping kiri, ke arah cowok gue, karena mendengar kata-kata, "Kebanyakan, Oom. Seribu aja," kata si penyemir. Gue juga sempat melihat cowok gue insist memberikan dua lembar ribuan, tapi anak itu cuma menggeleng ramah. Kata-kata si penyemir sepatu tadi seakan tidak bisa masuk akal gue! Di belantara Jakarta yang kata orang amat kejam ini, untuk bisa menyelesaikan masalah harus pakai uang, anak ini tidak tergoda untuk mengambil uang yang bukan haknya.

Kata-kata tadi sedemikian ‘keras’nya menghantam dinding perasaan gue. Gue merasa diinggatkan olehNya. Betapa sering kita tidak jujur, dia masih bisa memberi dari kekurangannya.

Ya, paling enggak ini bisa buat refleksi buat gue dan yayang. Betapa kecilnya kita nilai ukhrowinya ketimbang penyemir sepatu yang kita yang katanya lebih maju, lebih modern, pintar, bla-bla-bla…
Allah mengirim dia, agar kita bisa belajar dari orang lain.

Jl. Kertanegara, Jumat siang, 21 Juli 2000
(satu lagi tentang kejujuran)
laki-laki diambang 30-an, dengan seragam Hansip. duduk tercenung di trotoar di sebuah perempatan jalan memandangi mobil-mobil yang bersliweran di depannya. sambil sesekali menghembuskan asap rokoknya ke udara yang terkena polusi asap knalpot dan debu. dibelakangnya tersandar sepeda yang mungkin seusia dirinya.
matanya masih nanar memandangi jalan yang rapat dengan mobil. entah apa yang ada dalam benaknya. mungkin ia terpikir dengan permintaan anak, istrinya atau ibunya, kalimat-kalimat yang mengandung tuntutan. beberapa pesan yang menyiratkan kebutuhan hidup.
gajinya yang tigaratus ribu sebulan, penuh dengan potongan kas bon untuk menutupi kebutuhan hidup. sementara itu kebutuhan pokok di pasar harganya makin melambung.
siapa yang harus disalahkan? ia yang tak pernah mengecap sekolah tinggi? hingga mendaftar menjadi Hansip, Kamra or whatever they called? hingga ia terdampar di sebuah perempatan jalan untuk mengatur lalu lintas. kita yang berlalu lalang di depannya, mengharapkan bantuannya untuk memberi jalan mobil kita agar bisa segera melaju ke sebuah mal? makan minum belanja sepuasnya? atau kepada pemerintah yang terhormat? yang korup, yang nepotis, yang mementingkan kepentingan pribadi, di atas kepentingan publik?
hatiku sedih/ hatiku gundah/ tak ingin pergi berpisah/ hatiku bertanya/ hatiku curiga
mungkinkah kutemui/ kebahagiaan seperti di sini/ sahabat yang selalu ada/
dalam suka dan duka/ sahabat yang selalu ada/ dalam suka dan duka/ tempat yang nyaman/
kala ku terjaga/ dalam tidurku yang lelap/ pergilah sedih/ pergilah resah/
jauhkanlah aku dari salah prasangka/ pergilah gundah/ jauhkanlah resah/
lihat segalanya lebih dekat/ dan kubisa menilai lebih bijaksana/
mengapa bintang bersinar/ mengapa air mengalir/ mengapa dunia berputar/
lihat segalanya lebih dekat/ dan ku akan mengerti.....
(Mira Lesmana)

(I was there...)
dengar suara musik
mengawali pawai
seruling mengalun dan gendrang bertalu
pemain lincah, seragamnya elok
sambil berbaris memainkan lagu

suasanapun riang, siapapun senang
sorak sorai para penonton mengelukan
suasanapun riang, siapapun senang
sorak sorai para penonton terkesan
.......
(A.T. Mahmud)

(senangnya jadi anak kecil... damai dan indah melihat dunia sekitar...)
puja-puji hanya bagiNya semata
bagiku, cintamu yang tulus cukuplah sudah...

(peluk cium untuk Mas Ivo)
garing neh...
kangen sama yayang...

(pas kangen sama yayang, nun jauh di sana...)
Tuhanku...
Engkau Maha Tahu
Engkau Maha Baik
semua pengalaman dijalani
semua rencana dikedepankan
pasrah dan berserah ujud doa kami
wahai Sang Arah yang Maha Tahu dan Maha Adil
bawalah kami menuju tempat terindah pilihanMu...

(berserah, pasrah, menunggu pemberangkatan ke negeri harapan)